Selama semester pertama di tahun 2020 ini, hampir semua negara di planet ini ‘bertempur’ menghadapi musuh yang sama, yaitu virus corona jenis baru yang diberi label COVID-19 oleh WHO (World Health Organization) pada bulan Februari 2020 lalu. COVID-19 adalah akronim dari COrona VIrus Disease of 2019. Penyakit yang belum ditemukan obat maupun vaksinnya sampai tulisan ini disajikan di hadapan pembaca (baca: akhir Juni 2020), disebabkan oleh virus SARS-CoV2. Penyebarannya yang masif ke seluruh penjuru dunia diduga berawal dari kota Wuhan, yang terletak di provinsi Hubei, negeri Tiongkok, sekitar bulan November 2019 lalu. Kegaduhan yang ditimbulkan makhluk kecil berbentuk virus ini membuat beberapa istilah dan benda menjadi tren, seperti social distancing, physical distancing, disinfectant, droplet, hand sanitizer, face shield, cluster, APD (Alat Pelindung Diri), baju Hazmat, e-badah, dll.
Dampak yang ditimbulkan oleh Covid-19 sungguh dahsyat dan membuat ngeri. Jutaan orang terinfeksi, ratusan ribu orang tak hidup lagi, inflasi meroket tinggi, ‘wajah’ anggaran negara direvisi karena sudah pucat pasi, ekonomi global hancur tak terperi, berita politik maupun olahraga menjadi sepi, cara manusia beraktivitas tidak pernah sama lagi. Bersekolah tidak di gedung sekolah lagi, sektor jasa dan pariwisata mati suri, bahkan ibadah umat Kristiani pun dilakukan di rumah sendiri dengan menatap layar ponsel pintar ukuran beberapa inci. Gerak dibatasi. Makin susah mengais rezeki. Sulit sekali! Umat manusia diajak memasuki kehidupan normal baru yang sebelumnya tidak normal jika dinilai. ‘New Normal’, demikian istilah yang diusulkan para ahli.
Sebagai orang percaya, penulis dan pembaca tidak boleh menyerah dengan keadaan, separah apapun itu. Untuk bertahan dalam masa sulit yang melilit, manusia perlu pengharapan. Pengharapan yang berasal dari Tuhan. Manusia perlu tambahan kekuatan dengan cara memakai kacamata iman, sehingga pada gilirannya, manusia bisa menemukan berkat dalam situasi berat, melihat kebaikan di dalam keburukan. Idiom yang biasa digunakan untuk menggambarkan keadaan demikian adalah a blessing in disguise.
Cambridge dictionary menjelaskan idiom a blessing in disguise dengan ‘something that seems bad or unlucky at first, but results in something good happening later’ (sesuatu yang pada awalnya kelihatan buruk atau tidak beruntung, tetapi menghasilkan sesuatu yang baik terjadi kemudian).
Yusuf dijual abang-abangnya menjadi budak kepada saudagar Midian, lalu dibawa ke Mesir dan dijual lagi sebagai budak kepada Potifar (Kej. 37). Musa yang sempat menyandang status sebagai pangeran di Mesir, lalu menjadi buronan Firaun, hidup dalam pengembaraan (Kel.2). Keadaan terpuruk yang dialami Yusuf maupun Musa tidak membuat mereka menyerah dan kalah. Ada Tuhan yang memberi pengharapan. Mereka menyerahkan keadaan pada ‘saat ini’ dan menatap masa depan yang ada dalam genggaman Tuhan. Hidup terus dijalankan, sampai semua rencana Tuhan dalam hidup mereka tergenapkan. Akhirnya Yusuf menjadi wakil Firaun di Mesir dan Musa menjadi pemimpin besar Israel. Mereka memandang keterpurukan yang hanya sementara itu sebagai a blessing in disguise.
Terlepas dari gencarnya serbuan COVID-19 kepada umat manusia, masih ada berkat-berkat tersembunyi di dalamnya (baca: blessing in disguise). Di antaranya adalah:
Oleh karena itu, kiranya semua yang membaca tulisan ini mendapat manfaat, beroleh kekuatan dan dimampukan Tuhan melihat fenomena Pandemi Global Covid-19 sebagai a blessing in disguise (berkat tersembunyi). Tidak bermaksud meremehkan bahaya yang nyata, tetapi untuk menguatkan dan memberi semangat serta membangun pengharapan kepada diri penulis dan pembaca guna menghadapi fakta yang sangat mungkin bisa menyeret pada rasa putus asa. Kiranya Tuhan memberkati kita semua. Amin