Kesetiaan memang mudah diucap, tapi tidak mudah untuk dihidupi. Sederhana untuk dikatakan tetapi berat untuk dilakukan. Kesetiaan akan disebut kesetiaan apabila sudah terbukti melewati berbagai-bagai proses ujian yang diberikan. Proses ujian bisa ringan, bisa berat, bisa kesulitan bisa kenyaman, bisa singkat, bisa lama, bisa tidak diketahui berapa lama waktunya. Apa lagi bicara kesetiaan kepada Tuhan, maka waktunya adalah seumur hidup. sampai kematian dimana Dia memanggil kita kembali kepada-Nya.
Banyak hal dalam kehidupan kita yang akan menjadi ujian bagi kesetiaan kita kepada Tuhan. Hal itu bisa datang baik dari kesulitan maupun kenyamanan, baik saat sakit maupun sehat, baik di dalam kesendirian maupun kebersamaan. Apa lagi dalam masa pandemic yang masih melanda kehidupan manusia saat ini. Dimana berbagai kesulitan dapat dirasakan oleh manusia, entah itu ekonomi, pekerjaan, pendidikan, relasi, sosial, terbatasnya rekreasi dan berpergian, juga kesehatan dan bahkan ibadah bersama, serta masih banyak lagi yang lainnya.
Peristiwa pandemic yang melanda dunia tentu menyita banyak perhatian dan membuat berbagai cara pandang serta tafsir manusia atasnya. Ini hal yang wajar. Pandemic bukanlah satu-satunya, masih banyak hal-hal lain yang dialami oleh manusia, seperti berbagai bencana alam yang terjadi.
Peristiwa-peristiwa bencana alam, khususnya pandemic yang kita hadapi saat ini mungkin juga bisa menjadi ujian bagi kesetiaan kita, entah kepada pasangan, sahabat, pelayanan, tentangga, dan terlebih kesetiaan kita kepada Tuhan. Masih adakah kasih dan kepedulian kita di sana kepada sesama? Masih adakah kesetiaan kita kepada Tuhan? Apakah kita sungguh setia dan mengasihi sorga? Sejauh mana kita menguras hidup sorga, jika kita adalah setia pada Tuhan? Meminjam kalimat Thomas Manton, seorang teolog kaum puritan dalam sebuah renungannya yang ditulis oleh Richard Rushing berjudun Voices from the past, “Sesungguhnya manusia tidak mengasihi sorga, karena mereka begitu jarang peduli dan menguras tenaga demi sorga”
Dalam konteks kehidupan manusia dimana pandemic masih kita hadapi bisa jadi merupakan ujian bagi kesetiaan kita kepada Tuhan. Bukan hanya masalah penyakit saja, masalah kita saat ini sudah melebar hingga ke dalam aspek sosial atau relasi, ekonomi, keamanan, bahkan hingga ke harapan hidup. Di dalam kondisi sulit yang membelit setiap aspek kehidupan, masih adakah benih kesetiaan kepada Allah yang benar-benar tulus dan murni dalam diri setiap kita? Tidak mudah untuk menilai, apa lagi sampai memberikan suatu kesimpulan. Tetapi mari kita merenung akan hidup kita di hadapn Tuhan. “Apakah aku adalah orang yang sungguh setia pada Engkau, ya Tuhan?” Karena jangan kita menjadi seperti awan yang dibawa oleh angin dan mengikut kemana dia akan bertiup. Barangkali itu juga bisa menjadi gambaran kita selama ini ketika kita beribadah.
Menarik untuk diperhatikan, Alkitab tidak kurang memberikan contoh kepada kita, sebut saja Daniel dan kawan-kawannya yang dibuang ke Babel, identitas lahiriah yang melekat pada mereka dicabut dan dirampas. Nama mereka diganti dengan nama Babel. Mereka terisolasi dan mengalami lockdown dari wilayah, komunitas dan dari Bait Allah yang ada di Yerusalem. Tapi apa yang terjadi, spiritualitas mereka tetap hidup. Iman dan kesetiaan mereka kepada Allah tetap hidup. Relasi dan ibadah serta doa mereka kepada Allah tetap terpelihara dengan berkualitas murni dan teruji, walau ketika itu mereka tidak melaksanakannya dalam Bait Allah. Bagaimana dengan kita sebagai orang percaya dalam masa pandemic ini? Ibadah masih bisa kita ikuti dari rumah. Masih tetap adakah kesetiaan hati kita kepada Allah dengan sungguh-sungguh? Kalau kelak dalam kemurahan Allah, pandemic berlalu, masih adakah pergumulan kita untuk memiliki kerinduan bersekutu bersama, atau jangan-jangan kita sudah tetap nyaman dengan sajian ibadah via media (ibadah online). Mari kita menilik diri dan berdoa memohon kerinduan untuk tetap memiliki kerinduan mengenal Allah. Supaya setiap kita memiliki pengenalan Allah secara pribadi bukan sekedar mengetahui akan Allah. Sebab Ketika hidup kita sebatas mengetahui Allah, maka hidup akan menjadi kering, kita bahkan dapat menjadi muak dengan Tuhan dan firman-Nya. Namun kehidupan yang sungguh mengenal Allah adalah kehidupan yang rindu dan ingin terus menggumulkan Allah. Rindu, haus dan lapar yang mau bertumbuh dalam anugerah kasih dan setia kepada Allah. Sebab Kehidupan tanpa pengenalan akan Allah adalah kehidupan yang berbahaya. Bahayanya adalah dimana ibadah hanya sebatas religius, Allah hanya sebatas memenuhi pengetahuan otak atau pikiran, tapi tidak pernah mendarat di hati apalagi teraktualisasi dalam kehidupan yang nyata.
Kembali kepada kesetiaan kita kepada Allah. Hidup yang kita jalani saat ini memang bukan hidup yang tanpa pergumulan. Kesulitan hidup apa yang kita alami, yang Tuhan tidak ketahui? Adakah? Tidak ada. Tuhan mengetahui seluruh pergumulan kesulitan hidup yang kita alami. Karena itu, ketika ada tantangan, ancaman, kesulitan dan mungkin keterpurukkan hidup yang mungkin saat ini kita alami merupakan kesempatan yang Allah berikan untuk kita kembali kepada Dia, bagi kita yang selama ini tidak setia dan jauh dari pada-Nya. Di dalam keterpurukan kita, justru kita dapat membangun relasi kita secara pribadi dengan Tuhan sehingga Tuhan menjadi pengharapan, kekuatan, keberanian dan tempat untuk kita bersandar. Sementara bagi kita yang selama ini setia berjalan dalam kebenaran-Nya, kita akan terus memiliki pengenalan akan Dia, kita melihat dan menyaksikan serta tetap merasakan pemeliharaan-Nya atas kehidupan kita.
Karena itu, mari setiap kita dengan memohon pertolongan kepada Allah untuk tetap memelihara kesetiaan kita kepada Dia. Ingatlah dan lihatlah akan kesetiaan Kristus yang berjalan menuju kematian di kayu salib, hanya untuk mengasihi kita. Mintakan kesetiaan pada-Nya, supaya Dia memberikan kesetiaan-Nya pada kita dan kita menjadi setia. Karena tanpa kesetiaan Allah memelihara hidup kita, kita tidak punya kekuatan apa-apa untuk menjalani hidup dalam dunia ini. Tuhan menolong kita, Tuhan memberkati kita. Amin.