Ketika hidup mengalami berbagai penderitaan yang berat, kecenderungan manusia pada umumnya akan segera mencari solusi dengan segala macam upaya supaya bisa segera keluar dari penderitaan yang dialami. Ketika mencari solusi, bagi sebagian orang tidak peduli dengan benar atau salah karena ingin melepaskan diri dari penderitaan dan hidup berjalan dengan baik lagi. Cara lainnya adalah ada kemungkinan berharap penderitaan akan cepat selesai dengan mengharapkan kematian, karena melihat penderitaan yang dihadapi terlalu berat sehingga mengalami putus asa. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya tidak ada manusia yang ingin hidupnya menderita. Apalagi jika penderitaan dianggap sebagai hina bina.
Tak jarang berbagai tuduhan, celaan dan hidup dianggap sebagai tidak memiliki pengharapan dilabelkan kepada hidup yang sedang dalam penderitaan. Celakanya label-label tersebut datang bukan dari orang yang tidak ber-Tuhan (atheis), tetapi juga justru datang dari manusia yang menyebut diri beragama dan berTuhan. Orang yang tidak beragama ketika melihat hidup sedang dalam penderitaan cenderung menganggap sebagai akibat dari hidup yang tidak beriman sehingga dihukum Allah. Tuduhan seperti itu tentu sangat melukai dan menyakitkan bagi mereka yang menjadi terdakwa oleh sesamanya. Siapa manusia yang mampu melihat bahwa ada kemuliaan dalam sebuah penderitaa? Dimana manusia bisa melihat ada kemuliaan yang terpancar ketika sedang mengalami suatu penderitaan. Manusia cenderung melihat kemuliaan dikala hidup penuh dengan kenyamanan, punya jabatan, punya kekuasaan, punya penggemar dan pengikut yang banyak dan lain sebagainya, sehingga tidak mudah bagi manusia untuk mau bertekun dalam suatu penderitaan, apa lagi kalau penderitaan yang dialami adalah pendritaan bagi orang lain. Tetapi tidak demikian dengan Kristus.
Penderitaan Kristus di atas kayu salib yang berakhir dengan kematian-Nya justru membuat Ia ditinggikan dan dimuliakan. Penderitaan Yesus Kristus menggenapi apa yang tertulis dalam kitab para nabi, misalnya Yesaya 53. Yesus yang menderita dan mati di kayu salib dimuliakan dengan cara Allah mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya di dalam nama Yesus bertekuk lutut semua yang ada di langit dan di bumi (Fil. 2:1-11). Hal ini menunjukkan bahwa salib (penderitaan) justru membawa kemuliaan bagi Yesus Kristus. Perkataan “Bertekuk lutut” menunjukkan bahwa Allah mengaruniakan semuanya di bawah otoritas Yesus Kristus, termasuk otoritas menghakimi semua orang saat penghakiman terakhir. Kepada nama Yesus, semua lidah mengaku bahwa “Yesus Kristus adalah Tuhan.” Yang menarik, orang pertama yang mengaku Yesus adalah Tuhan setelah kematian-Nya adalah kepala pasukan Romawi (Matius 27:54, Markus 15:39). Kemuliaan Kristus dinyatakan dan muncul dari pengakuan kepala pasukan yang menyalibkan Yesus Kristus, “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah”
Paska kematian Yesus, murid-murid merasa takut dan kuatir kepada orang Yahudi sehingga mereka mengunci pintu rapat-rapat saat berkumpul (Yohanes 20:19). Ketakutan terhadap orang Yahudi adalah ketakutan kepada kondisi yang dialami Yesus Kristus (salib) atau ketakutan pada penderitaan. Penderitaan pasti menjadi bagian dari kehidupan orang percaya. Jika Yesus Kristus mengalami penderitaan, wajar bila umat-Nya juga mengalami penderitaan. Ingatlah bahwa Yesus Kristus yang kita percayai tidak selama-lamanya berada di dalam kubur, Ia bangkit, dimuliakan dan ditinggikan oleh Allah. Ada pengharapan! Jangan takut jika kita harus menderita karena Dia, karena kitapun juga akan dimuliakan bersama dengan Dia. Amin.