Sapaan Gembala

Mengarahkan Pandangan Kepada Tuhan

Penulis : Pdt Netsen | Tue, 13 July 2021 - 14:52 | Dilihat : 1794
Tags : Arah Fokus Hidup Mengarahkan Pandangan Kepada Tuhan Netsen Yosafat

Dalam zaman kepemerintahan raja Yosafat, bangsa Israel menghadapi peperangan melawa bani Moab dan bani Amon. Mereka bangsa yang besar kuat dan punya pasukan yang banyak jika di bandingkan dengan orang Israel. Raja Yosafat menjadi takut. Apakah Yosafat akan menyerah, putus asa, dan takluk kepada musuhnya? Tidak. Yosafat berseru kepada Tuhan. Dia datang kepada Allah. Tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Salah satu kalimat yang ia ucapkan adalah “Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan, tetapi mata kami tertuju kepada-Mu” (2 Taw. 20:12).

Apa yang di hadapai oleh Yosafat merupakan gambaran hidup yang mungkin sering kita hadapi. Masalah kita begitu banyak dan sangat besar. Kita tidak tahu harus berbuat apa? Harus bertindak bagaimana? Tetapi ingat, kita punya Allah.

Masa kesesakan adalah masa yang tepat untuk mengandalkan Allah. Ketika tidak ada roti untuk dimakan, atau air untuk diminum, tetapi hanya ada kesesakan dan keterkejutan, inilah saatnya untuk tidak secara berlebihan berduka, menggerutu, tenggelam, patah semangat, putus asa, melainkan saat untuk mengandalkan Allah. Jika di kapal, nakhoda memerintahkan petugas kapal untuk melemparkan jangkar ke bawah (ke laut) supaya jangkar dapat terkait pada batu karang untuk menahan kapal agar dapat bertahan dan tenang ketika ada ombak badai yang datang menerpa. Demikian juga seyogyanya kita orang percaya. Saat diserang badai, orang percaya harus melemparkan jangkarnya ke atas. Bukan ke bawah. Ke atas, kepada Allah, Dialah Batu Karang yang teguh tempat jangkar kita terpaut. Kita melemparkan jangjar ke atas, Percaya dan mengandalkan Tuhan.

Menyerahkan hidup pada Tuhan, mengandalkan Dia merupakan obat penawar paling ampuh bagi kita untuk mendapat ketenangan hidup, melawan kelemahan, ketidakberdayaan, dan keterpurukan. Tatkala Tuhan mengijinkan beragam kesulitan hidup, ombak dan gelombang yang datang menerpa hidup kita, ada kedukaan, kesulitan ekonomi, pekerjaan dan sebagainya, tatkala la meremukan kita, tatkala panahNya menusuk kita, dan tekanan tangan-Nya yang menyakitkan, tatkala kita makan debu bagaikan roti dan minuman kita bercampur dengan tangisan, inilah saatnya untuk merangsang iman kita kembali ke tujuan sejati. Dalam situasi badai seperti ini, dudukkan iman di tempat pengemudi yang akan melindungi jiwa dari kekaraman.

Iman bergulat dengan berbagai penderitaan, dan sanggup mengalahkannya. Tatkala hati condong gagal, jiwa condong tak berdaya, iman mengambil “botol obat"-nya dan mengatur pemberian minuman penyegar iman. Di tengah semua badai, topan, dan prahara, ya, di tengah angin ribut kedukaan dan kesengsaraan, iman tahu bagaimana dan kapan melemparkan jangkar: “Janganlah gelisah hatimu: percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku" (Yoh. 14:1).

Iman adalah obat penawar ampuh dan penyembuh kita, menuntun kita kembali pada Allah. Iman memungkinkan kita tetap hidup di tengah kematian. Allah mempunyai sarana luar biasa untuk menanggulangi ketika sarana-sarana lain gagal. la mampu mengubah racun menjadi penawar ampuh, hambatan menjadi pendorong, dan penghancuran menjadi kelepasan. Burung gagak memberi makan Nabi Elia. Ikan besar Tuhan pakai menjadi kapal dan juga kaptennya Yunus. Tanpa sarana pun, Allah yang mahakuasa juga mampu berkarya. Bukankah begitu banyak kesaksian yang Alkitab berikan kepada kita ketika Allah membawa umat-Nya ke dalam situasi kebuntuan. Allah memberi manna kepada orang Israel untuk mereka makan. Memberi mereka minum dari bukit batu. Musa bersama dengan orang Israel digiring oleh Allah kepinggir laut Teberau. Yosua dan umat Israel digiring oleh Allah ke tepi sungai Yordan. Mengapa Ia melakukan itu? Ia melakukan ini agar mereka mengenal kesanggupan-Nya. Allah beserta dengan umatNya senantiasa, tetapi Ia paling ramah saat mereka paling terpuruk. Allah beserta dengan kita. Allah beserta dengan saudara. Bahkan Ia paling mengerti ketika engkau dan saya paling terpuruk dan jatuh ke tingkat yang paling terendah.

Kepada orang percaya di Korintus, Paulus menyampaikan perjalanan kehidupan dan apa yang menjadi tujuannya. Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami (2 Kor. 4:8-10). Itulah kehidupan kita orang percaya dalam dunia membawa berita tentang Kristus bahkan ketika dalam penderitaan yang berat sekalipun. Kita tidak sendirian. Kita tidak ditinggalkan. Allah hadir di sana dan mengangkat kita memimpin kita untuk berjalan dalam kehendak-Nya, mencapai tujuan yang Dia sediakan bagi kita. Amin

Lihat juga

Komentar


Group

Top