Kondisi pandemic yang telah melanda dunia dan bahkan masih belum reda telah mengakibatkan banyak hal bagi kehidupan manusia. Sebagian orang mengalami kehidupan yang sangat menderita karena harus kehilangan pekerjaan, penghasilan dan bahkan tidak sedikit mereka yang kehilangan orang yang mereka kasihi, sehingga ada duka yang pernah dirasa di sana. Tak hanya itu, sebagian orang kehilangan relasi yang sehat karena tidak lagi dapat berjumpa satu dengan lain secara fisik, termasuk dalam hal persekutuan. Akibatnya manusia punya kerinduan satu dengan yang lain, entah itu dengan keluarga, sahabat, rekan kerja, rekan pelayanan, rindu pada teman sekolah, rindu jalan ke tempat wisata, dan rindu untuk bisa berpergian liburan bersama.
Namun Ada hal yang lebih penting untuk kita tanyakan pada diri, adakah kondisi pandemic yang notabenenya dipandang sebagai suatu pergumulan berat telah membuat hati kita untuk memiliki kerinduan kepada Allah? Ketika ada masalah yang beruntun dan bertubi-tubi datang dalam hidup, seperti masalah ekonomi, masalah sakit penyakit dan masalah-masalah lainnya kita cenderung berusaha keras mencari jalan keluar supaya bisa lepas dari masalah. Karena kita berpikir bahwa masalah-masalah itulah yang sangat menekan hidup kita sehingga membuat kita terpuruk, menderita dan mungkin jiwa kita begitu merana.
Bila membaca pergumulan bani Korah dalam Mazmur 42 yang ditulis dengan maksud untuk mengangkat keluar sebuah kondisi atau keadaan sulit yang dialami si pemazmur. Pemazmur masuk dalam berbagai pergumulan, sehingga menjadi tekanan berat dalam jiwanya dan sangat menggelisahkan dirinya. Hingga ia berseru pada dirinya; Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku dan gelisah di dalam diriku? Apa yang membuat pemazmur begitu tertekan jiwanya bukan sekedar karena ia bersama dengan orang Israel berada dipembuangan. Tetapi karena dirinya dan bangsanya tidak dapat datang ke Bait Allah. Selain itu ia menyadari dan mengingat bahwa dirinya yang adalah sebagai pelayan Tuhan, pemuji Tuhan tak dapat melayani sebagaimana ketika ia ada di Yesuralem.
Bicara masalah, setiap manusia punya masalah. Namun di saat menghadapi masalah, bagaimanakah sikap kita, adakah kita menjadi orang yang semakin mendekat kepada Tuhan. Memiliki hati yang rindu pada Tuhan atau kah sebaliknya kita justru menjadi orang yang semakin menjauh dari Tuhan, marah, tidak mau lagi ke gereja, tidak lagi mau berdoa. Bani Korah mengajar dan mengingatkan kita. Ketika ia mengalami pergumulan yang berat, membuat dirinya mengingat akan kebaikan Allah yang telah diberikan kepadanya. Ia menenangkan diri di hadapan Tuhan. Berbicara pada diri, mengendalikan hatinya, mengapa engkau tertekan, hai jiwa ku? Dalam perguluan berat yang pemazmur hadapi, ia semakin haus dan rindu pada Tuhan. Ia punya pengharapan pada Tuhan, karena Tuhan yang pernah ia layani ketika sebelum ia berada di pembuangan di Babel adalah Tuhan yang tidak pernah berubah. Tuhan yang penuh cinta kasih dan layak untuk menaruh segala pengharapan. Sehingga ia berkata pada jiwanya, berharaplah pada Tuhan, hai jiwaku. Salah satu cara untuk mengenal hati dan iman kita adalah dengan melihat bagaimana sikap kita di saat kita sedang menghadapi sebuah masalah. Teruslah memiliki jiwa yang rindu kepada Allah walau hidup yang kita jalani mengalami tampak berat dan bahkan mengalami berbagai masalah. Ingat, kita tidak sendiri. Ada Tuhan yang setia tempat kita menaruh segala pengaharapan akan kehidupan kita. Amin.