Hidup Merdeka
di Bangsa yang Merdeka
1 Petrus 2:11-17
Perantau dan Pendatang
Dalam kesementaraan, kita memang perantau dan pendatang, walaupun kita hidup di satu planet, yang bernama bumi, bukan planet lainnya. Karena sekat-sekat asal-usul itu (suku, bangsa) masih menjadi sebuah pride. Masih ada wilayah: Yahudi dan non-Yahudi (gentiles). Meskipun dalam kesementaraan itu, tindakan kita sebaiknya selaras dengan nilai-nilai kekekalan: kebaikan dan moral. Tindakan-tindakan kita tidak mencerminkan kedagingan (sarkikos). Nasihat yang bernas dapat kita petik dari ayat 11 dan 12, yakni “supaya kamu menjauhkan diri dari keinginan-keinginan daging […] milikilah cara hidup yang baik (perbuatan-perbuatan yang baik) dan yang memuliakan Tuhan.”
Tubuh kita memang dalam kesementaraan. Ia akan mati dalam kesementaraan. Dalam pengharapan iman, tubuh kita akan dibangkitkan dan atau diubah pada saat Kristus Yesus datang kembali. Tetapi kesementaraan itu bukan menjadi sebuah alasan bagi kita untuk melegitimasi perbuatan-perbuatan daging yang bertentangan dengan kehendak Tuhan dan yang tidak memuliakan-Nya. Boleh saja orang menyebut kita sebagai perantau dan pendatang, asalkan kita menjunjung tinggi nilai-nilai kemuliaan manusia yang memuliakan Tuhan dan sesama!
Karena Tuhan dan keteladanan-Nya
Banyak alasan yang membuat kita berkelit dan membela diri, mengapa sulit hidup taat pada pemerintah. Tepatnya: 1001 alasan. Karena pemerintah lalim, bengis, tidak adil, korup, nepotis, kolusi, dan seterusnya. Maka tak heran kita melihat perlawanan terhadap pemerintah dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang karena alasan-alasan tersebut di atas. Kita menyebutnya people power. Karena vox populi, vox Dei (suara rakyat [adalah] suara Tuhan). ‘Bodoh amat’ dengan pertumpahan darah. Yang penting lawan.
Dengarkanlah: “Tunduklah, karena Tuhan, kepada semua lembaga manusia (raja, wali-wali utusannya) […]”, ayat 13. Artinya, alasan (bukan asal-asalan) terutama dan terpenting mengapa kita menundukkan diri pada pemerintah adalah Tuhan dan keteladan-Nya. “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Tuhan; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Tuhan. Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Tuhan dan siapa melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya” (Rm. 13:1-2).
Ketundukan seperti apa? Hirarkis dan relasional. Di dalam 1 Petrus 2:18, rahasia hirarkis itu disebutkan. Seorang hamba atau budak berada dalam keadaan tidak bisa tidak tunduk kepada tuannya. Natur sebagai seorang yang bekerja kepada tuannya, membawanya kepada ketundukan diri untuk terus melakukan apa yang dikehendaki oleh majikannya. Sebaik mungkin ia harus melakukan tugasnya, terlepas dari tuannya seorang yang ramah, baik hati, atau bengis. Ia harus bertanggungjawab dengan tugasnya itu. Secara relasional, menunduan diri kepada pemerintah dapat diandaikan dengan kehidupan suami istri (1 Petrus 3:1). Tunduk, taat, dan saling menghormati, itulah natur asli relasi yang baik. Perbuatan-perbuatan baik kita akan berdampak bagi orang lain dan akan mengalahkan kejahatan!
Karena Tuhan dan keteladan-Nya menggarisbawahi kemerdekaan kita menebarkan jala kebaikan. Dan di mana ada kebaikan di sana ada damai sejahtera. Minimal, damai sejahtera itu menguasai seseorang, sebelum akhirnya ia akan memengaruhi yang lainnya secara luas. Kebaikan dan damai sejahtera tidak menciptakan ketakutan. Teruslah memercayai Tuhan. Teruslah meneladani-Nya. Karena dalam kedaulatan-Nya, Ia menetapkan pemerintah untuk mengegakkan keadilan dengan cara menghukum orang-orang yang berbuat jahat. Sejatinya—di balik tindakan itu—mereka memberi perhatikan kepada orang-orang yang baik; supaya mereka dapat menerbarkan kebaikan mereka di tengah-tengah dunia atau masyarakat di mana mereka tinggal; supaya ada ruang kebebasan untuk mewujudnyatakan kebaikan itu pada sesama, tanpa memandang perbedaan.
[Meng-]Abdi Tuhan
Hidup sebagai orang merdeka adalah hidup sebagai abdi Tuhan. Tak ada guna menyebut diri merdeka, jika hidup di dunia masih menjadi budak keinginan daging. Tetapi dengan menjadi abdi Tuhan, kita mematikan hidup lama kita. Kemerdekaan bukan kebebasan tanpa pengendalian diri. Kemerdekaan kita bukan tipu-tipu atau topeng demi menyembunyikan atau menutupi kelakuan jahat kita. Karena dengan menjadi abdi Tuhan, kita hidup dalam keterusterangan bahwa kita memang taat, hidup dalam kebenaran, berbuat baik, menghormati orang lain (termasuk para pemimpin), toleran, mengasihi orang lain, dan takut akan Tuhan (tetap percaya dan beriman kepada-Nya).
Itulah perbedaan signifikan hidup mengabdi [kepada] Tuhan dan menghamba [kepada] dosa. Di dalam kemerdekaan kita (di tengah bangsa yang merdeka dan di dalam status kita sebagai anak-anak Tuhan), cara-cara hidup kristiani akan berdampak besar. Sekecil apapun itu.