Sapaan Gembala

Reformasi Gereja: Dari Teologi Kepada Transformasi

Penulis : Pdt Gelen Marpaung | Thu, 2 November 2023 - 17:46 | Dilihat : 5608
Tags : Gerejareformasiindonesia Harireformasi Pdtgelenmarpaung Sapaangembala

Gereja Kristen, khususnya aliran arus utama, memeringati hari reformasi gereja setiap tanggal 31 Oktober. Tanggal ini merupakan tonggak sejarah demi mengenang salah satu reformator gereja, Martin Luther, dalam gerakan reformasi yang diupayakannya oleh pertolongan dan kehendak Tuhan. Di tanggal 31 Oktober 1517 tersebut Martin Luther memakukan di pintu gereja di Wittenberg, Jerman, lembaran berisi 95 tesis/dalil yang menentang praktik menyimpang gereja pada saat itu. Luther juga mengirim tesisnya kepada Albrecht, Uskup Agung Mainz dan Magdeburg untuk memprotes praktik penjualan indulgensi (surat penghapusan hukuman dosa).

Banyak hal yang bisa didiskusikan terkait upaya reformasi gereja yang akhirnya melahirkan gereja Protestan. Martin Luther tidak berdiri tunggal dalam gerakannya. Ada beberapa reformator lain yang sezaman dengannya. Bahkan ada yang sudah memulai gerakan reformasi sebelum zaman dia, namun berakhir dalam kegagalan. Bahkan ada yang sampai menemui ajal karena dihukum mati oleh sebab dianggap menyimpang dari ajaran resmi. Padahal para reformator sedang berupaya sekuat tenaga untuk mengembalikan gereja kepada ajaran yang murni sesuai kitab suci.

Para reformator gereja sesungguhnya tidak berniat dan tidak sedang berupaya membuat aliran baru, apalagi agama baru. Mereka hanya ingin mengembalikan praktik kehidupan dan keagamaan berdasarkan kitab suci, bukan berdasarkan tafsiran tunggal pemimpin agama yang menduduki takhta suci.

Setidaknya ada tiga aspek integratif yang bisa dijadikan pembelajaran terkait reformasi gereja yang telah, sedang dan akan terus terjadi. Pertama, aspek ajaran (doktrinalis). Di zaman dahulu hanya para rohaniwan yang memiliki akses membaca kitab suci. Umat awam sangat terbatas mengetahui ayat-ayat firman Tuhan. Karena itulah para reformator berupaya keras menerjemahkan kitab suci ke dalam bahasa lokal, untuk dicetak dan disebarkan kemudian. Untuk konteks Martin Luther, kitab suci diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Masyarakat Jerman akhirnya bisa membaca firman Tuhan dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti dan dapat memeriksa sendiri apakah ajaran yang sedang diajarkan gereja memang telah menyimpang. Telah ditemukannya mesin cetak di masa itu sungguh menolong gerakan reformasi menjadi gelombang yang semakin besar. Umat Tuhan di masa kini yang diberkati dengan kemudahan membaca firman Tuhan dalam berbagai bahasa di dalam smartphone masing-masing, hendaknya jauh lebih tekun mendalami ajaran firman Tuhan dan menjadikannya kegemaran dan kebutuhan primer yang sesungguhnya.

Kedua, aspek kesalehan (pietis). Banyak orang menyalahpahami ajaran teologi para reformator seperti Martin Luther maupun John Calvin, hanya menyasar aspek doktrinal yang bersifat filosofis, teoretis dan sistematis. Sesungguhnya tidaklah demikian. Ajaran tentunya menjadi perhatian karena dari sanalah praktik keberagamaan didasarkan. Dimulai dari pelurusan ajaran/ortodhoxy, untuk kemudian dimanifestasikan ke dalam praksis keberagamaan yang benar pula/orthopraxy. Para reformator menekankan human’s gratitude sebagai respon atas God’s grace yang telah diterimanya. Maka kesalehan hidup menjadi sebuah panggilan hidup yang merupakan sebuah respon wajar dari orang percaya atas anugerah Tuhan yang telah diterimanya. Umat Tuhan di masa kini menghadapi tantangan berbeda dibandingkan abad-abad terdahulu. Kebebasan untuk menjalani hidup dalam kesalehan relatif lebih dimungkinkan di zaman yang menjunjung tinggi hak asasi setiap individu (HAM) seperti sekarang. Namun amat disayangkan, banyak orang percaya membuat diri sendiri kurang berupaya untuk hidup dalam kesalehan karena, disadari atau tidak, telah terpengaruh konsumerisme dan hedonisme yang memuja kemudahan dan kemewahan hidup, alih-alih kesalehan hidup.

Ketiga, aspek perubahan (transformasionalis). Pokok-pokok teologi yang diwariskan para reformator gereja bukanlah sekadar dogma yang bersifat kognitif, namun berproses meresap ke dalam jiwa yang pada gilirannya mengubah prilaku dan cara hidup orang percaya menjadi sesuai dengan kehendak-Nya. Doktrin reformasi bersifat transformatif. Para reformator menegaskan bahwa Yesus Kristus bukan hanya Tuhan yang patut untuk dipercaya, namun Kristus menjadi Tuhan dalam totalitas kehidupan orang percaya (the Lordship of Christ in the totality of life). Ini merupakan bagian dari semboyan reformasi gereja: solus Christus. Tidak ada satu ruanganpun di dalam hati, pikiran maupun kehidupan orang percaya, di mana Kristus Yesus tidak menjadi Tuhan di sana. Kebenaran ini kiranya menggentarkan namun sekaligus memotivasi setiap umat Tuhan untuk mengajak Kristus memeriksa seluruh ruangan dalam hati, pikiran dan kehidupan kita, untuk kemudian dibersihkan dan diubahkan. Kiranya kita semua terus dan semakin diubahkan menjadi pribadi yang lebih baik (transformasi progresif) dan memuliakan Tuhan, menjadi teladan bahkan memengaruhi zaman. Ecclesia reformata semper reformanda. Amin

Lihat juga

Komentar


Group

Top