Yakobus 5:7-11
“Bersabarlah sampai kepada kedatangan (Yun. parousia) Tuhan!” (ay. 7a, 8) merupakan dasar dari pemberitaan Firman Tuhan yang sudah sangat jarang kita dengar. Apakah karena kondisi kita berbeda dengan Yakobus, saudara Tuhan Yesus pada waktu itu? Kita hidup di dunia yang tidak lagi secara face to face memerhadapakan seseorang dengan penderitaan fisik sebagai konsekuensi dari imannya kepada Kristus.Walaupun ada ‘satu-dua’ orang yang menghadapi itu. Tetapi, kita yakin bahwa penderitaan yang dimaksud itu bukan saja hanya secara fisik, melainkan juga secara psikis. Lagipula, penderitaan itu lintas generasi, zaman, usia, status, agama, keyakinan, bahasa, dan lain sebagainya. Inilah latar dari perintah ‘bersabarlah sampai pada kedatangan Tuhan’ di sini. Sebuah perintah yang tidak mudah. Lebih gampang dari sekadar ungkapan ‘pekerjaan yang paling menjengkelkan adalah sabar menunggu […]’.
Keteladanan
Secara umum (dan bisa kita temukan di mana-mana), pelajaran tentang kesabaran diberikan secara cuma-cuma. Kapan saja kita bisa memetik pelajaran berharga tentang bersabar dari mereka. Yakobus, sang rasul itu, mengarahkan perhatian kita pada petani. Bukan pada persoalan status, melainkan pada kesabaran mereka menantikan hasil dari benih yang sudah ditabur. Mereka tekun merawat (membersihkan) kebun yang sudah ditumbuhi oleh benih-benih buah dan sayur yang sangat beragam. Segala macam cuaca sudah menjadi hal biasa dalam hidup mereka. Mereka justru semakin bertambah yakin bahwa hasil yang akan dituai tidak mengecewakan.
Ketika, semua itu dilalui dengan baik dan saatnya mereka memetik hasilnya, mereka akan bergembira, bersorak, bersukacita atas pencapaian besar yang sudah mereka kerjakan. Karena itu, ditegaskan kepada kita bahwa ‘kamu (orang percaya pada waktu itu) dan kita (orang percaya sekarang ini) juga harus bersabar dan meneguhkan hati, karena kedatangan Tuhan sudah dekat’ (ay. 8).
Secara khusus (dan kita bisa membaca secara khusus dalam kitab para nabi dan Ayub), pelajaran tentang kesabaran dalam penderitaan dicontohkan secara nyata melalui para nabi dan seorang tokoh bernama Ayub. Nabi, ketika berbicara atas nama Tuhan, melakukannya dengan keteladanan dan kesabaran. Apa yang mereka hadapi dalam tugas pelayanan itu gampang kita gambarkan dengan kata-kata (sekadar menceritakan ulang). Begitupun cerita panjang lebar tentang Ayub. Mereka semua sabar bertahan dalam penderitaan. Keteladanan mereka terletak pada kesabaran yang sama maknanya dengan tekun dalam berbagai kondisi riil kehidupan orang percaya.
Kebahagian yang Tak Ternilai
Penderitaan dan kebahagiaan adalah etalase penantian dan pengharapan orang percaya terhadap kedatangan Tuhan Yesus. Yang sangat menarik adalah keduanya bukanlah kutub/medan magnet yang saling berlawanan. Kita seringkali mengalami penderitaan (sekalipun dalam skala kecil, atau besar?), namun di saat bersamaan penderitaan itu justru sedang menyediakan (atau: menjadi) ‘karpet merah’ bagi kita menuju kebahagiaan bahkan kepada kemuliaan.
Bukankah kita mendengar pernyataan iman “penderitaan yang kamu alami sekarang, tidak sebanding dengan kemuliaan yang akan datang” (Roma 8:18). Tuhan tidak sedang berada di seberang, sambil melambaikan tangan-Nya dan sesekali menyoraki kita untuk terus bersemangat melanjutkan pertandingan iman kita. Tuhan justru ada bersama kita dalam pergumulan bahkan dalam penderitaan. Ia yang memberikan kekuatan. Ia dengan penuh kasih mendemonstrasikan bahwa Ia pengasih dan penyayang, serta penuh belas kasihan (ayat 11). Kebahagiaan itu tidak serta merta merusak fokus kita pada kehadiran Tuhan. Karena sabar dan tekun menanti-Nya akan menunjukan kita pada jalan dan kebahagiaan dan kualitas hidup yang dewasa.
.