Anak yang Bertumbuh dalam [nama] TUHAN
Kejadian 4:25-26
Cerita terbesar keluarga adalah cerita kesuksesan mendidik anak dan mewariskan sesuatu yang bernilai kekal (bukan sementera) kepada mereka. Termasuk mewariskan iman. Kejadian 4-9 adalah cerita tentang pergumulan itu. Kita bisa mencatat 2 (dua) hal dari sini, yakni (1) menjauh dari kekerasan; dan (2) mendekat pada kebenaran.
[Men]Jauh dari Kekerasan
Orang tua mana pun pasti ingin menjauhkan anak-anak mereka dari jangkauan kekerasan, baik verbal maupun tindakan. Mereka tidak mau memprovokasi anak-anak mereka terlibat dalam kejahatan. Tetapi apakah hal itu bisa dilakukan? Mengingat kejahatan dan kekerasan begitu masif terjadi? Kekerasan dan kejahatan itu sangat dekat dengan anak-anak; bahkan tanpa disadari, ia bisa saja berada dalam keluarga dan yang sangat berbahaya adalah jika hal itu terjadi from generation to generation (turun-temurun). Riwayat Kain mencontohkannya kepada kita. Kain, anak laki-laki tertua dari Adam dan Hawa, memukul hingga mati adiknya, Habel. Bukan karena persoalan harta atau warisan yang akan jatuh kepada adiknya, seperti kisah Yakub yang merebut hak kesulungan dari Esau kakaknya, hanya dengan modal se-porsi sup kacang merah.
Kain membunuh Habel karena persembahan (Ibr. minkha) kepada Tuhan. Ibadah kepada Tuhan ternoda! Kain, sang kakak, tidak bisa menerima ibadah Habel, adiknya. Ia tidak ‘protes’ kepada Tuhan, tetapi langsung kepada adiknya, yang tidak tahu-menahu soal ‘ibadahnya yang diterima oleh Tuhan’. Padahal, Kain—setelah ia mengetahui bahwa yang diberikannya tidak seperti yang diberikan Habel— masih mendapat perhatian dari Tuhan.
Tuhan sendiri—bukan seorang rohaniwan, bukan pula papa dan mamanya— menasihatinya. Tuhan memberikan warning: muka muram, hati panas, tidak berbuat baik, dosa berkuasa! Tuhan ingin menjauhkan Kain, anak Adam itu, dari kekerasan, bahkan kejahatan. Tuhan ingin agar Kain menjadi role model bagi keturunanannya kelak. Jadi, tidak benar kalau Tuhan tidak peduli kepada Kain.
Gaya bahasa ‘Tuhan mengindahkan Habel dan persembahannya’ bukan sebuah penolakkan kepada Kain. Sehingga ‘penolakkan’ itu menjadi senjata mematikan untuk membunuh Habel. So, apakah menjauhkan anak-anak dari kekerasan sesuatu yang bisa dilakukan (niscaya)? Ya. Bahkan Tuhan pun melakukannya kepada Kain. Bukan sekadar menghendakinya.
[Men]Dekat pada Kebenaran
Kekerasan (baca: kejahatan) yang terus bertambah bukanlah sebuah pertanda terdesaknya kebenaran dan bahkan cenderung hilang. Kondisi seperti ini dialami oleh nabi Yesaya: “hukum telah terdesak ke belakang, dan keadilan berdiri jauh-jauh, sebab kebenaran tersandung di tempat umum dan ketulusan ditolak orang.
Dengan demikian kebenaran telah hilang, dan siapa yang menjauhi kejahatan, ia menjadi korban rampasan” (Yes. 59:14-15). Habakuk juga mengeluhkan hal yang nyaris serupa: “hukum kehilangan kekuatannya dan tidak pernah muncul keadilan. Sebab orang fasik mengepung orang benar; itulah sebabnya keadilan muncul terbalik” (Hab. 1:4). Miris. Tidak ada harapan. Ironis.
Benarkah? Tentu saja tidak seperti yang kita pikirkan. Kemampuan kita (termasuk para nabi, para rasul) hanya menilai sebatas hal-hal yang sudah terjadi. Jadi, sangatlah wajar apa yang dikatakan oleh Yesaya dan Habakuk di atas.
Mereka membuat sebuah kontras. Saat orang lain terbelenggu oleh pesimistis bahkan depresi yang dalam karena mereka tak kunjung melihat sebuah titik terang perubahan yang signifikan dari apa yang mereka alami, para nabi dan rasul-rasul (sebagai representasi dari keberpihakan Tuhan) mengingatkan kita bahwa Tuhan tidak pernah membiarkan orang menjauh dari kebenaran. Coba perhatikan apa yang dikatakan oleh Yesaya (lihat dan baca: Yesaya 59:15b dst, Habakuk 2:1 dst.).
Jauh sebelumnya, bukan dalam gaya bahasa para nabi dan rasul melainkan dalam gaya bahasa hikayat/riwayat, Tuhan menyatakan diri sebagai sumber dan pemilik kebenaran. Ia menegakkan nama-Nya. Ia menegakkan keturunan Adam kembali. Citra yang dibawa oleh Kain dan keturunannya segera diputus oleh Tuhan.
Oleh kemurahan Tuhan (perhatikan kalimat Hawa: “Tuhan telah mengaruniakan […]”), Adam dan Hawa mendapat seorang anak laki-laki yang diberi nama Set. Pada zamannya, orang memanggil nama Tuhan. Habel dan Set memiliki kemiripan sebagai anak (atau: keturunan) yang membaca citra kebenaran.
Sayang sekali, tentang keturunan Set tidak diceritakan seperti keturunan Kain. Tetapi, keturunan Set menegakkan ‘Nama Tuhan’. Kejadian 5-9 menjadi saksi atas tegaknya kebenaran itu. Bukankah Henokh adalah keturunan Set? Henokh bergaul dengan Tuhan. Bukankah Nuh adalah keturunan Set? Pada zamannya (Nuh), kejahan meningkat tajam! (Kej. 6:5). Tetapi, Tuhan memilihnya dan terus mempertahankan anak-anak (keturunan) yang dibesarkan dalam ‘Nama Tuhan’.
Campur tangan Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Yang masih merasa diri sebagai anak, teruslah bertumbuh dan dekat dengan Tuhan. Kami (yang sudah menikah) akan menjaga agar anak kami terus bertumbuh dalam Tuhan. Itu adalah komitmen kita bersama.