Pekan ini majalah tempo memberi apresiasi kepada para pekerja seni. Mengangkat “Tokoh Seni Tempo,” setelah dua pekan sebelumnya menobatkan para relawan dan aktivis lingkungan sebagai Tokoh Pilihan. Menarik, sosok yang dipilih hampir semua adalah orang muda. Mario F. Lawi salah satunya. Dia bukanlah seorang sastrawan atau penyair hebat, seperti orang umumnya menilai. Namanya pun belum familiar benar di telinga para penikmat untaian kata-kata. Namun karyanya begitu menginspirasi. Meski ditulis dari timur Indonesia yang sering kurang dilirik orang, terbukti Mario bisa berprestasi lewat puisi.
Puisi-puisi Mario bukan sekadar memadukan kumpulan huruf dan kata. Tidak juga cuma mencari-cari padanan rima kata. Puisi-puisinya begitu bermakna, karena melibatkan diri dan imannya. Melibatkan situasi di sekitar diri dan kumpulan fakta kebenaran kitab suci. Dua situasi yang terbelah jurang masa dirangkai indah menjadi sebuah ekspresi sastrawi. Meski bernuansa teologis, namun, Tempo menulis, apa yang disajikan Mario jauh dari kesan mengkhotbahi pembacanya. Apalagi bermaksud menggurui. Tidak, tidak sama sekali. Yang dlukiskan Mario merupakan bentuk ekspresi kebenaran yang dia imani dan batinkan.
Tidak mudah, ya, tentu saja. Tapi di kemudaan usianya Mario menunjukkan bahwa dia mampu melakukannya. Ini mencerahkan kita, bahwa mengekspresikan iman nyatanya bisa dilakukan siapa saja. Mengekspresikan iman itu bukan hanya monopoli kaum cerdik pandai, pakar teologi, pun rohaniawan yang hafal mati ayat suci. Awam pun bisa, bahkan kitab suci lugas berkata, wajib hukumnya. Baik dengan model dan sarana apa saja.
Kitab suci menyajikan serangkaian kisah faktual yang bisa ditarik makna dan teladan. Menyuguhkan ayat-ayat yang sarat pengajaran dan didikan nan bijak. Itu seharusnya sudah lebih dari cukup, kalau enggan menggunakan istilah melimpah, untuk dibatinkan dan ekspresikan. Tentu saja sarananya tak perlu harus serupa. Jika ingin menginterpretasi dalam gambar, ya silakan saja diekspresikan dalam goresan pensil atau saputan tinta. Kalau ingin seperti Mario menggunakan untauan kata yang terjalin dalam sebuah karya, ya monggo saja.
Mario dan karyanya seperti menjadi cermin sekaligus cemeti yang memecut diri agar berkarya lebih produktif lagi. Tak perlu memusingkan tuntutan metode dan sistematika. Kadang baik menjadi seperti tak peduli dengan pakem-pakem dan runutan teori yang ada. Abai atau menghilangkan sama sekali ketakutan pada apa kata orang terhadap karyanya. Buang jauh-jauh bayangan orang akan mencibir, mengkritik dengan segala rumusan teori-teori canggih, yang sering jadi momok mengerikan.
Karena setiap ekspresi itu berasal dari dalam diri. Dan diri yang terlebih dulu menikmati. Berproses dari olah rasa dan respon atas anugerah iman dari Tuhan yang memampukan orang membatinkan segala bentuk pengalaman kerohanian. Dengan begini, maka ekspresinya tentu saja akan beraneka macam. Ada sebagian orang yang senang memunculkannya dalam rupa komparasi. Konteks pembaca perdana dan pengalaman kekinian diperbandingkan. Ada lagi yang coba mencari korelasi antara keduanya, meski harus mengambil risiko bakal disalah arti menjadi upaya mensikretisisasi. Allah yang menolong umat untuk menikmati setiap langkah perjalanan kehidupan adalah Allah yang unik di setiap karyaNya. Allah yang sama yang juga menolong orang dapat menemukan peran ilahi di setiap pengalaman yang dilalui. Inilah teologi. Kalau Roh Allah dapat menolong para penulis kitab suci agar tak keliru dalam mengekspresikan maksudNya, Allah yang sama niscaya juga akan menolong orang di masa kini untuk boleh mengerti dan mengekspresikannya kembali, sedekat dengan kebenaran asli.