(Ibrani 10: 19-22)
Betapa bahagianya orang yang hidupnya terbebas dari segala belenggu. Betapa besar sukacitanya seorang budak yang telah dimerdekakan, dari hidup yang menekannya selama ini. Lebih besar lagi rasanya, lebih hebat lagi anugerah yang diterima seorang pendosa yang dibebaskan dari jeratan dosa. Belenggu yang mustahil dia lepaskan sendiri, kini terbuka, rantainya terputus tercerai berai oleh karena Allah yang berkarya dan beranugerah melepaskannya.
Tidak murah harga untuk itu semua. Bukan harta dunia yang dapat menebus, tapi justeru Dia sendiri, Allah sendiri yang rela mengorbankan Anak-Nya untuk menebus tuntutanNya sendiri. Seperti kita tahu, dosa merupakan kejijikan di mata Allah. Bahwa buah dari dosa adalah kematian. Maka tidak mungkin manusia berdosa yang menjijikkan yang kotor lagi najis itu bersanding, berelasi dengan Allah yang kudus. Manusia berdosa yang secara spiritual tidak lagi hidup itu pun tidak mungkin menghidupkan dan menguduskan dirinya sendiri. Tidak ada satu pengorbanan pun yang bisa dilakukan manusia untuk menyucikan dirinya kembali. Seperti pada juga sudah kerap disinggung pada bagian-bagian sebelumnya, darah binatang yang dikorbankan pun mustahil bisa menyucikan manusia. Bahkan kalaupun ada manusia lain yang rela menggantikan untuk menjadi korban, apakah dijamin manusia itu memenuhi kriteria dan tuntutan Allah, yang tidak bercacat dan bercela, bahkan setitik noda dosa pun tidak. Sebab melalui Adam, semua manusia telah berdosa dan tidak ada satu pun dari mereka yang punya kerinduan berbuat baik atau mencari Allah.
Tidak ada satu pun manusia layak menghadap Dia. Kalaupun ada satu suku tertentu yang oleh taurat diatur sebagai “penghubung” manusia dengan Allah. Itu pun tak dapat menyucikan atau menyempurnakan manusia. Satu-satunya yang bisa adalah Allah sendiri yang rela berkorban demikian besar dengan mengorbankan Anak-Nya demi memenuhi tuntutanNya. Karena karya Kristus di kayu salib itulah manusia kini telah dibukakan jalan menuju Allah. PengorbananNya melayakkan manusia untuk berelasi dengan Dia. Oleh darahNya, manusia yang dulunya tidak leluasa menghampiri Allah, kini bisa masuk ke dalam ruang KudusNya, bersekutu pribadi dengan Dia, kapan saja (10:19).
Menjelaskan hal yang begitu penting ini penulis Ibrani kembali menggunakan analogi bait suci. Di sana Kristus, yang adalah Alllah itu sendiri berperan menjadi dua bagian penting dalam bait suci. Pertama diibaratkan sebagai tabir atau tirai bait suci, yang melalui atau melewatiNya manusia bisa masuk ke hadirat Ilahi. Manusia yang sudah dibenarkan, diubahkan statusnya dari berdosa kini dilayakkan atau dimungkinkan dapat menghampiri Allah yang maha kudus (10:20). Kedua Kristus juga berperan sebagai Imam Besar Agung (10:21). Tidak seperti para imam pada umumnya yang hanya bisa menjalankan ritual pengorbanan untuk dosanya sendiri dan umat, Kristus rela menjadikan diriNya Korban ssatu kali untuk selamanya. Sebagai Imam Dia juga bukan imam yang bercela atau berdosa, yang harus mengorbankan sesuatu untuk ampunan dosanya sendiri. Tidak. Kristus adalah Imam Besar Agung yang sempurna.
Jika demikian, maka bagaimana respons yang seharusnya ditunjukkan oleh umat terhadap pengorbanan Kristus yang begitu berharga itu? Tiada lain kecuali masuk lebih dalam menuju persekutuan yang intim dengan Allah. Menghadap Alla dengan hati yang tulus Ikhlas, bebas dari motivasi-motivasi yang cemar. Menghadap Allah bukan sebagai pelarian atau pemenuhan kebutuhan psikologis semata. Tapi menghadap ilahi dengan tujuan murni dalam keihlasan diri. Menghadap Tuhan dengan keyakinan iman yang teguh. Tidak lagi dengan beban kecemasan atau penyangsian iman. Sebab hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni (10:22). Agar nurani yang sudah Kristus bersihkan terus menjadi bersih. Dua bagian ayat terakhir ini merupakan dorong penulis Ibrani kepada pembacanya, agar mereka senantiasa bertekun dalam iman kepada Allah yang telah begitu besar anugerahNya. Slawi