Yakobus dalam suratnya menyindir mereka yang sangat berambisi menjadi guru, namun jauh dari kualifikasi yang mesti dimiliki. Jangan banyak yang mau menjadi guru karena akan dihakimi lebih berat (Yak 3:1). Guru menunjuk kepada pengajar umat, yang biasa kita sebut pelayan. Bukankah keinginan menjadi guru itu baik? Mengapa Yakobus bersikap sinis?
Menjadi guru memang mulia, namun karena mulia itu tak bisa sekedar ambisi agar dikenal dan bisa berbicara didepan banyak orang. Banyak sekali motivasi orang menjadi guru hanya untuk pemuasan ambisi. Padahal sejatinya seorang guru adalah panggilan Tuhan yang menuntut kesiapan atas banyak kualifikasi. Bahkan kualifikasi dalam berbagai aspek.
Pelayan harus siap dan giat belajar tiada henti. Tak bisa dibayangkan seorang guru yang malas belajar sehingga dia miskin pengetahuan. Maka sudah pasti dia akan memiskinkan muridnya, dan ini adalah kejahatan guru. Dari ketidaktahuanlah kesesatan dimulai dan ini akan melemahkan gereja. Jika berani menjadi guru harus berani belajar. Dia harus menjadi sumber pengetahuan bagi yang dilayaninya.
Pelayan harus siap menjadi teladan. Istilah guru yang ditiru dan digugu menuntut kehidupan seorang guru yang mampu menjadi teladan dalam berbagai aspek kehidupannya. Dia harus menjadi teladan dalam perilaku, kesucian, dan penguasaan dirinya. Sungguh sulit membayangkan seorang guru yang tak mampu menguasai diri dan hidup tak suci. Bagaimanapun juga semua mata murid terarah kepada guru yang selalu dijadikan model. Jika guru tak mampu menjadi teladan maka gereja akan melangkah dengan pola hidup yang salah. Pepatah berkata, guru kencing berdiri murid kencing berlari.
Pelayan harus siap memimpin. Bukan hanya mampu tapi tahu kearah mana harus melangkah, atau apa yang harus diperbuat dalam rangka mewarnai jaman ini. Ada banyak pelayan yang melayani terjebak pada rutinitas kegiatan gerejawi. Umat berjalan ditempat dalam hingar bingar kalender gerejawi namun tak berbuat apapun yang bernilai untuk kehidupan bermasyarakat. Ini menyedihkan, dan tak cocok dengan panggilan gereja sebagai garam dan terang dunia. Namun inilah kenyataan kehidupan gereja yang berjalan ditempat, dan gereja terasa remang-remang dikehadirannya .
Pelayan harus siap berkorban. Kebanyakan orang mau menjadi pelayan justru untuk mendapatkan keuntungan. Alkitab mengambarkan bagimana mereka menjadi pecinta uang, dan pelayanan hanyalah pintu masuk untuk mendapatkannya. Tuhan Yesus berkata, gembala yang baik rela memberikan nyawanya untuk domba gembalaannya. Inilah semangat berkorban. Namun dalam realita pelayanan masa kini pengorbanan terasa langka. Bahkan seringkali umat atau domba yang dijadikan korban. Senjata makan tuan kata orang. Jika tak memiliki keberanian untuk berkorban memang tak cocok menjadi pelayan. Cocoknya menjadi tuan tanah. Jadi jangan buru-buru ingin menjadi pelayan, perlu periksa diri lebih dahulu, apakah anda siap berkorban dalam berbagai hal.
Akhirnya pelayan adalah orang yang jelas buah pertobatannya, dan teruji dalam sebuah masa mutu pelayanan dan kesetiannya. Seorang yang mau dan mampu, yang memiliki hubungan intim dengan Tuhan Yesus kepala gereja. Seorang pelayan yang sejati selalu rindu untuk bertumbuh dan bertambah. Dia tak menghitung apa saja yang telah dikerjakannya dalam melayani Tuhan, namun selalu bertanya pada dirinya, apa yang belum dikerjakannya bagi Tuhan. Tahu bersyukur atas anugerah Tuhan, sehingga tak pernah berhenti mengabdi. Selamat menjadi pelayan.