Putusan melegalkan pernikahan sejenis telah diketuk Mahkamah Agung Amerika Serikat, membuka keran lebih luas bagi pasangan sejenis untuk menikah. Sebelum putusan ini, seperti dilansir Tempo dari BBC, pernikahan sejenis diterima sah dilakukan di 37 negara bagian (dari total 50 negara bagian) yang ada di Amerika Serikat. Kini, di seluruh negeri paman sam kelompok penyuka sejenis itu memiliki hak sama untuk menikah.
Paska dikeluarkannya putusan itu berbagai respon segera bermunculan dari seluruh penjuru dunia. Ada yang menyambut putusan itu dengan euforia selebrasi kebebasan mereka. Tetapi jauh lebih banyak yang menolak dan mengecam keras putusan itu, khususnya datang dari kalangan agamawan dan umat dari pelbagai agama. Tak terkecuali di Indonesia yang juga menyikapinya bermacam-macam. Ada yang setuju, ada pula yang menentang keras.
Beberapa waktu lalu TV One dalam sebuah acara debat juga menjadikan isu pernikahan sejenis ini sebagai topik debat. Empat nara sumber, berdua-dua diposisikan berdiri sebagai represntasi dua pendapat berbeda (setuju dan tidak). Kedua kubu datang dengan membawa opini dan pendapat masing-masing yang dipegang erat. Tak sedetikpun mereka mau memahami pendekatan dan alur berpikir lawan debatnya. Tak heran tayangan selama kurang lebih satu jam itu diisi dengan debat yang penuh serba dengan pokoknya.
Meski begitu ada hal yang menarik untuk ditilik. Dari debat itu, kelompok yang setuju penyuka sejenis seperti sengaja membangun opini, bahwa orang yang menerima pernikahan sejenis itu adalah orang-orang terbuka; berpendidikan; orang yang beradap; menjunjung tinggi Hak asasi Manusia; dan tentu saja adalah kumpulan orang yang memanusiakan manusia. Sementara mereka yang menolak, oleh kelompok pendukung pernikahan sejenis, dilabeli sebagai orang yang kolot; terkesan tak berpendidikan; berpikiran jumud; dan tidak menghargai Hak Asasi Manusia. Maka tak heran pernyataan yang disampaikan oleh pendukung pernikahan sejenis pun selalu di arahkan kepada isu kemanusian dan HAM. Seolah-olah mereka adalah orang yang paling menjunjung tinggi HAM dan kemanusiaan. Padahal pernyataan-pernyataan mereka justru jauh dari memanusiakan manusia dan menjunjung tinggi kemanusiaan.
Ketika ditanya tentang bagaimana cara mereka mendapat keturunan, dengan enteng dan bangganya mereka yang setuju dengan pernikahan gay itu menjawab, bahwa itu soal mudah. “tinggal sewa rahim!! suatu saat nanti akan ada penyewaan rahim buat kaum gay untuk menghasilkan anak.” Pernyataan ini terkesan sangat visioner, berpikiran maju. Padahal di balik itu semua, entah sadar atau tidak, mereka sedang memposisikan seorang ibu tak lebih dari mesin produksi untuk menghasilkan anak. Bicara banyak tentang kemanusiaan dan HAM tapi sendirinya tidak menghargai harkat perempuan, harkat kemanusiaan kaum wanita. Kaum perempuan dikondisikan tak lebih dari sebuah mesin, sarana penunjang atau pewujud keinginan atau alat semata. Fungsinya tak lebih seperti Vending machine (Mesin jual otomatis), tinggal masukkan koin atau voucher dalam jumlah tertentu, lalu minuman atau makanan yang diinginkan langsung keluar secara otomatis. Menempatkan manusia yang adalah pembawa citra Allah dengan segala naturnya itu menjadi sebuah barang. Yang kalau menguntungkan atau memiliki manfaat bagi dirinya, digunakan atau di berdayakan, tapi ketika tidak bisa lagi menghasilkan sesuatu dilempar ke gudang. Binatang saja masih bisa menghargai kelompoknya. Melindungi dan menempatkan mereka sebagaimana mestinya, meposisikan mereka layaknya binatang dan bukan benda mati, barang atau mesin.
Bicara soal penyewaan rahim buat kaum gay, sebetulnya tak jauh berbeda dengan topik “peternakan” anak. Orientasinya melulu pada hasil apa yang didapat. Bukan jalinan relasi dan proses tertentu. Misalnya peternakan sapi. Tak penting sapi itu kapan bereproduksi dengan pasangannya. Tak perlu punya sapi pejantan agar mendapatkan hasil (anak sapi), asal ada sapi betina, tinggal kawin suntik, maka dalam waktu dekat sapi betina itu akan membuahkan hasil (anak sapi).
Mungkin saja kelompok gay akan berdalih, dengan menyewa rahim ibu-ibu tertentu, mereka mengangkat kehidupan ekonomi mereka. Mengangkat mereka dari kemiskinan. Karena memang perempuan yang menyewakan rahim seringkali berasal dari kaum papa, seperti di India atau wilayah asia yang miskin lainnya. Kalau memang ingin menolong orang miskin kenapa harus dengan menyewa rahimnya. Kalau benar mau menolong, mengapa berharap balasan tertentu dalam bentuk lain. Jika benar ingin menolong, lalu kenapa tidak memberi bantuan modal atau bimbingan agar mereka bisa mandiri secara ekonomi. Ya, lagi-lagi dalih itu tak lebih dari sekadar upaya untuk “membenarkan diri”, membenarkan tindakan atau langkah yang dipilih agar orang menyetujui atau setidaknya mengapresiasi. Slawi