Kata ini berhubungan dengan sesuatu yang normal dalam proses biologis tubuh manusia. “Lapar”, sebetulnya tak lebih dari keinginana untuk makan (krn perut kosong). Tapi dalam penggunaannya, khususnya jika dikaitkan dengan permasalahan sosial, kata ini dipakai dalam konotoasi yang negatif. Apalagi kalau ditambahkan awalan “Ke” dan akhiran “an”. Ya, “Ke-lapar-an”, tidak hanya berkait dengan perihal lapar; tapi lebih jauh lagi, ini berkaitan dengan orang yang menderita lapar (krn tidak ada yg dimakan); atau mereka yang kekurangan makan. Belum lagi penggunaan kata ini yang juga dikaitkan dengan sebuah penyakit tertentu “Busung Lapar”, penyakit yang disebabkan kekurangan gizi (biasanya disertai bengkak-bengkak), membuat orang cenderung menghindari.
Lapar sesungguhnya setiap orang biasa atau setidaknya pernah mengalami, walaupun seringkali juga kurang atau tidak dirasai. Betapa tidak, sebab bagaimana mungkin orang bisa merasai lapar, kalau perut selalu penuh terisi dengan asupan makanan yang dikonsumsi. Mulai dari snack, minuman ringan, sampai makan besar yang tak ada batas kapan waktu untuk menikmati. Ya, “lapar” menjadi sesuatu yang ada namun tidak lagi terasa. “Lapar”, proses yang ada di tubuh ini, tapi seperti makin “teralienasi” dari diri ini. Menjadi sesuatu yang kian jarang dialami atau rasai. Padahal “lapar” adalah sejatinya adalah keajaiban yang Tuhan berikan kepada kita, ciptaannya. Setidaknya ada dua alasan mengapa lapar disebut sebagai keajaiban.
Kitab suci juga sering menggunakan kata ini dengan berbagai macam konteks berbeda. Tuhan Yesus juga pernah menggunakan kata ini dalam ucapan bahagiaNya yang terkenal itu. “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran , karena mereka akan dipuaskan “ (Mat 5:6). Di sini kata lapar tidak disandingkan atau kaitkan dengan makanan, tapi dengan kebenaran. Seperti kita tahu, bahwa ayat tersebut berbicara tentang suatu kerinduan yang amat mendalam untuk memperoleh kebenaran dari Allah melalui firmanNya, maka orang yang lapar akan dipuaskan. Dalam konteks kebenaran dan lapar ini saya tidak ingin menariknya ke dalam proses eksegesis bahasa yang mendalam, tapi lebih mencoba menariknya ke dalam makna simbolis yang “alegorik”, yang saya juga tahu tidak semua orang bisa sepaham.
Dalam konteks “Lapar” akan kebenaran, sebagai sebuah peringatan, seperti dijelaskan diatas, saya memaknai ini sebagai sebuah anugerah dari Allah melalui Roh Kudus. Roh Allah selalu mengingatkan kita, memberikan rasa itu agar memungkinkan kita dapat dipuaskan. Tapi sayang tidak semua kita mengindahkan peringatan itu. Sehingga alih-alih dipuaskan, sadar kalau diri lapar pun tidak ada, sehingga kerohanian kita menjadi merosost dan akhirnya mati.
Selanjutnya lapar akan kebenaran juga menjadikan makanan rohani kita menjadi lebih nikmat. Seperti kita pernah tahu dan alami, ada kalanya kebenaran dalam Firman Tuhan yang kita baca seperti berlalu begitu saja, seperti tanpa makna apa yang bisa dirasai atau didapat diri ini. Padahal kita juga tahu bahwa kebenaran Firman Tuhan tidak pernah berkurang kualitasnya. Kehampaan atau hambar, dan menjadi biasa, itu bukan saja karena rutinitas yang mengondisikan, tapi bisa juga karena rasa lapar itu sudah mulai menghilang. Rasa lapar yang sangat, rasa rindu yang besar untuk mendapatkan makna bagi diri dari berita kebenaran sudah lama tak ada di diri. Betapa teramat penting rasa lapar itu, baik secara biologi maupun secara spiritual. Karena itu lapar usah dihindari. Lapar justru perlu dicari. Slawi.net