Tidak ada seorang manusia pun yang sanggup hidup tanpa kenikmatan, entah kita termasuk orang yang tergolong hedonis, yang menjadikan kenikmatan sebagai tujuan hidup tertinggi, atau mereka yang tergolong asketik, mereka yang sangat berhati-hati dan cenderung anti terhadap kenikmatan. Adalah bagian dari menjadi manusia bahwa manusia tidak dapat terlepas dari kebutuhan kenikmatan. Dunia hiburan yang semakin hari semakin marak membuktikan betapa manusia menginginkan kenikmatan, misalnya, tempat-tempat hiburan yang selalu dipenuhi orang dari berbagai macam tawaran hanya mengkonfirmasikan bahwa manusia memang tidak bisa hidup tanpa hiburan dan kenikmatan.
Selain itu tidak sedikit manusia terjebak dan berusaha untuk menjalani gaya hidup hight-class, ironisnya terkadang tanpa melihat realita hidup yang sejatinya mereka miliki, tetapi hanya karena gengsi dan ingin suatu kenikmatan hidup, sehingga tak jarang mereka mengorbankan atau “menjual” orang lain, keluarga, diri dan bahkan mengorbankan atau menjual imannya atau menjual Tuhan. Ironisnya, tidak sedikit orang yang menyebut diri Kristen terjebak di sana.
Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia memang diciptakan sebagai mahkluk yang memiliki salah satu aspek kebutuhan akan kenikmatan dalam hidupnya. Dan karena ingin kenikmatan maka manusia melanggar perintah atau hukum Tuhan. Manusia bukan hanya ingin sama seperti Allah, tetapi manusia ingin menjadi Allah, sehingga manusia, dalam hakekatnya yang terbatas melawan hakekatnya itu, mencoba ingin menjadi manusia yang tidak terbatas. Manusia melawan ketetapan Allah. Hasilnya, manusia berdosa. Manusia binasa. Dengan kata lain, ketika manusia berusaha mengejar kenikmatan atau kepuasan dalam hidupnya, yang sebenarnya bukanlah kenikmatan yang sesungguhnya sebagai kenikmatan yang tertinggi maka manusia terjebak. Manusia jatuh dan terperangkap dalam kenikmatan yang semu, yang mematikan. Itulah sebabnya mengapa manusia terus menerus memburu kenikmatan bagi hidupnya.
Sejatinya manusia diciptakan Allah diperlengkapi dengan aspek kebutuhan akan kenikmatan dalam hidupnya yang lebih tinggi. Kebutuhan akan kenikmatan yang lebih tinggi dalam diri manusia sebagai gambar dan rupa Allah adalah hidup mendambakan Allah. Hidup dalam providensi Allah yang berdaulat, Allah yang berkuasa dan Allah yang kasih. Itu adalah kenikmatan tertinggi dalam hidup orang percaya. Orang percaya seyogyanya mendambakan Allah dalam hidupnya. Salah satu ungkapan pemazmur; “Sebab lebih baik satu hari di pelataran-Mu dari pada seribu hari di tempat lain; lebih baik berdiri di ambang pintu rumah Allahku dari pada diam di kemah-kemah orang fasik” (Mzr. 84:11). manusia.
Untuk memupuk sikap hati yang terus mendambakan diri Allah, maka harus ada latihan rohani yang dapat dilakukan secara praktis oleh kita. Misalnya, belajar melatih diri untuk mencari kehadiran Allah. Kehadiran Allah memang adalah sesuatu yang tidak kelihatan, namun bukan karena tidak kelihatan lalu Allah menjadi tidak nyata atau tidak ada. Sering kita ingin kenikmatan karena sesuatu itu adalah kelihatan, dapat dirasa oleh indra. Sehingga ketika bersentuhan dengan indrawi kita maka kita merasa puas dan merasakan kenikmatan. Kita harus mencari kehadiran Allah dalam persekutuan hidup kita dengan Tuhan. selanjutnya, bagaimana hidup kita adalah hidup yang berdoa. Selain itu kita mencari kehadiran Allah melalui pembacaan Firman Tuhan. Mencari kenimatan yang tertinggi, yaitu kehadiran Allah dalam totalitas hidup kita adalah bagaimana kita mendambakan Allah di hari-hari hidup kita. Dan itu semua akan terbangun dalam hidup seorang yang bersekutu dengan Allah, berdoa kepada Allah dan belajar dan membaca Firman Tuhan. Itulah hidup yang mendambalan Allah. Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah? Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: "Di mana Allahmu? " (Maz. 42: 2-3). Amin.