Kedua istilah ini seringkali dipakai kurang pas dalam pemaknaannya. Indonesia selepas Orde Baru, dengan nyaring meneriakkan era Reformasi, walaupun realitanya tak sekeras pekikannya. Reformasi baru indah ditataran kata saja. Lalu gereja seperti tak ingin ketinggalan kereta mempopulerkan jargon Transformasi. Secara historis dan filosofis, kata ini salah tempat, khususnya bagi gereja. Tak jelas siapa yang memulai jargon transformasi ini, namun yang pasti ini adalah produk import. Maklum gereja di Indonesia kurang pede untuk memakai konten lokal. Mari kita selusuri, biar terang.
Reformasi sangat jelas menjadi sejarah gereja dan juga semangat gereja. Slogan; Ecclesia reformata semper reformanda, yang berarti Gereja (kumpulan orang percaya) yang terus menerus diperbaharui. Jadi Reformasi bukan sekedar sebuah gerakan melainkan proses yang tiada henti. Dan, apa yang menjadi ukuran pembaharuan? Sangat juga jelas. Bagaimana gereja dari masa kemasa makin menyerupai Kristus (Kolose 3:1-4), dan menjadi sempurna seperti Bapa sempurna (Matius 5:48). Mungkinkah gereja sempurna? Jawaban sangat jelas; Ya! Karena penebusan Kristus bersifat sempurna, sehingga potensi kesempurnaan sudah ada pada orang tebusan, tinggal bagaimana dia hidup mentaati Firman Tuhan dengan berawal dari Sangkal diri, Pikul Salib, Ikut Yesus hingga jiwa terpisah dari raga. Bahwa banyak orang tak mampu, masing-masing harus mengkoreksi diri. Yang pasti para Rasul dalam hidupnya, terus bergerak menuju dan mengakhiri kehidupannya sempurna dalam kualitatif yaitu iman, perilaku, kemurnian pelayanan, bukan kuantitatif seperti menua, sakit, dan lainnya. Dalam Reformasi yang menjadi ukuran adalah Alkitab yang tidak berubah dulu dan selamanya. Jaman boleh berganti Alkitab tetap dan transformasi manusia adalah hasil akibat Reformasi. Oleh karena itu gereja seharusnya mengikat diri pada semangat Reformasi. Sementara transformasi hanyalah hasil Reformasi yang bisa dilihat dan terukur.
Transformasi itu sendiri bersifat relatif. Seperti penerimaan LGBT oleh sebagaian gereja saat ini, adalah sebuah transformasi. Apakah gereja mau kearah ini? Sangat serius bukan. Politik memang tepat disebut sebagai tarnsformasi karena bersifat situasional. Seperti transformasi yang terjadi di Indonesia, UUD 45 diamandemen sehingga Presiden yang tadinya tidak diatur masa jabatannya bertransformasi menjadi dua periode saja. Apakah gereja juga akan mengamandemen Alkitab? Seperti yang telah dilakukan oleh sebagian gereja penerima LGBT. Semoga kita tidak mabuk transformasi. Namun disisi lain, jangan juga Reformasi diteriakkan tapi transformasi hidup tak kelihatan. Jadi gereja harus tetap pada jalur Reformasi, sementara negeri ini harus terus menerus bertransformasi dengan melengkapi UUD 45, UU, sesuai dengan kebutuhan bangsa. Gereja jangan pernah mengamandemen Alkitab karena sangat jelas ultimatumnya, jangan menambah atau mengurangi satu iotapun (Matius 5:18).
Jika Reformasi adalah pembaharuan dengan ukuran yang tidak berubah yaitu Alkitab, maka transformasi adalah perubahan situasional. Bahwa Politik memakai istilah Reformasi sah-sah saja, karena ini adalah sebuat kata yang berarti pembaharuan, namun tanpa pegangan abadi, dan juga jangan pernah melupakan sejarahnya. Tinggal gereja, apakah akan terbawa arus atau belajar setia pada sejarah gereja. Kita perlu belajar agar tak asal ketika memakai sebuah istilah, karena itu ajaran Alkitab harus dipahami seutuhnya, bukan semaunya. Memperingati Hari Reformasi setiap akhir Oktober sangatlah perlu untuk mengingatkan kita akan tugas Reformasi yang tidak kunjung usai hingga Tuhan memanggil. Untuk itu, hanya ada satu carayaitu; Setia kepada Alkitab yang satu.
Akhirnya, selamat menjelajah kehidupan sebagai gereja Tuhan yang terus menerus diperbaharui, dan perubahan hidup kita nyata tanpa ada yang bisa membantahnya. Dimana posisi kita? Selamat Reformasi.