Menjadi rohaniawan, apakah itu pendeta, majelis, aktivis, atau apapun istilah yang dipakai tidaklah susah. Bahkan ada kecenderungan sangatlah mudah, sehingga memunculkan istilah pendeta jadi-jadian, atau pendeta kejadian bukan keluaran. Istilah keluaran merujuk seorang hamba Tuhan yang “keluar” atau lulus dari sebuah STT. Sementara “kejadian” menunjuk seseorang yang tidak jelas asal usul pendidikan teologinya namun tiba-tiba telah menjadi pendeta. Pendidikan formal teologi tentu saja bukan merupakan jaminan bahwa seorang pelayan itu bermutu, karena banyak juga STT yang tak memenuhi standard kualitas pendidikan. Seseorang dapat saja belajar mandiri atau otodidak, namun ini terlihat dan terbukti dari paham teologi dan perilakunya yang bisa dipertanggungjawabkan.
Bagaimana dengan gambaran di Alkitab. Di era PL ada kualifikasinya yang sangat jelas, yaitu para imam berasal dari suku Lewi yang secara turun temurun terus belajar teologi, bahkan sejak usia dini. Mereka terlatih dan berada dilingkungan pendidikan teologi seumur hidup. Begitu juga para nabi tidak muncul mendadak, mereka memiliki latar belakang yang jelas. Seperti nabi Samuel yang berada di Bait Allah sejak kanak-kanak hingga terus menjadi dewasa menjadi hakim Israel yang terakhir, sekaligus menjadi nabi yang pertama secara struktural.
Didalam PB, gambaran yang sama juga sangat jelas. Para murid yang berlatar belakang sebagaian besar nelayan, menjadi murid Tuhan Yesus Kristus dan terus belajar teori dan praktek paling tidak 3.5 tahun. Itupun mereka tak lulus ujian jalan salib dikematian Yesus Kristus. Yudas menjual Nya, Petrus menyangkal Nya, dan murid yang lainnya tercerai berai. Ironis sekali, itulah realitanya. Barulah setelah hari Pentakosta, Roh Kudus memulihkan dan menyempurnakan para murid menjadi pelayan tangguh yang bisa dipercaya. Dalam suratnya di 1 Korintus 4:1-2, Paulus berkata bahwa akhirnya yang dituntut dari para pelayan adalah bahwa mereka dapat dipercayai.
Pelayan yang dapat dipercaya menjadi tuntutan mutlak seorang pelayan dulu, kini, dan selamanya. ketika memilih para peniliki jemaat, Timotius, Titus, diingatkan oleh Paulus agar memilih mereka yang dalam kualifikasi moralnya terpuji dan teruji. Seorang yang bisa dipercaya, murah hati, sopan. Seorang pendamai yang bukan hamba uang. Jujur dalam mencari nafkahnya dan tidak membohongi orang lain. Dalam soal mental, dia memiliki penguasaan diri yang baik sehingga tidak mudah jatuh dalam konflik. Di kehidupan keluarga dia seorang yang bisa memimpin keluarganya, disegani dan dihormati oleh istri dan anak-anaknya. Berintlektual, memiliki kemampuan yang terus diasah dengan kemauan yang kuat, sehingga punya kecakapan dalam mengajar orang lain. Berpengetahuan baik dalam soal kebenaran yang diajarkan, sekaligus menjadi teladan bagi yang diajarnya. Dari segi keimanan dia bukan seorang petobat baru melainkan dewasa iman dan kuat menjalani berbagai pencobaan. Dengan begitu seorang pelayan bisa dipercaya dan tidak bisa digugat orang lain karena kualitas hidupnya yang terpuji.
Apakah saya seorang pelayan yang bisa dipercaya? Pertanyaan yang sudah seharusnya diajukan oleh setiap pelayan di gereja. Seorang pelayan Tuhan sudah semestinya berkualitas sehingga layak dipercaya dan menjadi berkat bagi orang disekitarnya. Dipercaya membuat seorang pelayan bisa memegang rahasia yang dipercayakan kepadanya. Bisa diandalakan dan selalu berinisiatif untuk segera bertindak ketimbang berkomentar. Pelayan yang dipercaya diperlukan oleh gereja disepanjang masa, namun tak mudah mendapatkannya. Benarlah apa yang diucapkan oleh Tuhan Yesus bahwa sesungguhnya banyak tuaian namun penuainya sedikit.
Akhirnya selamat berkompetisi menjadi pelayan yang bisa dipercaya, dan menuai diladang Tuhan dalam kesukaan yang penuh.