Tak perlu lagi berpanjang-panjang menjelaskan tentang peristiwa kekinian apakah terkait Doa. Anda tentu sudah bisa menebaknya peristiwa apa itu. Karena menjadi viral dipelbagai media sosial. Respon netizen pun beragam tentang doa itu. Bagi yang setuju tentu tanggapannya penuh puja dan puji. Tapi bagi yang tak nyaman dengan “indahnya” doa anggota dewan yang terhormat, Muhammad Syafi'i tentu saja tak cuma mengkonfrontasi balik si empunya doa di sosial media, tapi juga menghujaninya dengan caci memaki. Tak elok memang, tapi apa lacur, sama seperti Syafi’i sesuka hatinya mulutnya dalam berdoa, toh orang juga bisa sesuka hati mengekspresikan pendapat tentang doanya.
Kontra versi itu muncul lantaran doa yang di ucap Muhammad Syafi'i terdengar tak biasa. Tak seperti doa pada umumnya yang berisi permohonan, berisi harapan dan ungkapan hati umat manusia kepada Tuhannya. Di doa Syafi’i lebih kuat terdengar seperti sebuah opini atau sindiran, daripada lazimnya sebuah doa.
Doa memang multi guna. Tergantung siapa yang menggunakannya dan untuk kepentingan apa dan siapa. Kalau hati sedang risau maka isi doanya meminta Tuhan beri ketenangan kepadanya. Di kala banyak masalah, berharap Tuhan membantu menguatkan. Tapi nyatanya tak cuma itu. Doa juga berdaya guna beda ketika ada di situasi berbeda. Doa bisa meningkatkan kualitas diri, menjadi alat pembawa kebanggan diri, sarana meningkatkan gengsi. Bukan semata soal indahnya doa, tapi soal membentuk lukisan diri ketika tampil di muka. Mengisyaratkan diri yang rohani, saleh, yang perlu diteladani, digugu dan tiru. Maka tak heran, rumah-rumah ibadat yang ramai dikunjungi orang dan tikungan-tikungan jalan raya, menjadi tempat favorit dalam berdoa (Matius 6:5). Apalagi yang diingini kalau bukan agar diri terlihat lebih rohani.
Multi Guna lain dari doa adalah seperti yang ikhtiarkan oleh Syafi’i. Meningkatkan mutu diri dengan menyindir dan mengerdilkan lian. Doa yang juga mengingatkan kita pada model berdoanya si Farisi, seperti disebut Tuhan Yesus dalam Perumpamaan tentang orang Farisi dengan pemungut cukai (Lukas 18:9-14). Benar, ini memang sebuah umpama, bukan berarti tidak terjadi di dunia nyata. Tuhan Yesus meminjam ini sebagai umpama karena memang demikian adanya realita. Nyatanya Farisi dengan segala ulahnya. Kepada Farisi yang demen menganggap diri benar dan memandang rendah semua orang lain lah perumpamaan itu ditujukan. Begitu gamblang dikisahkan bagaimana Farisi berdoa, mengucap syukur kepada Allah , karena dicipta berbeda dengan semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga tidak seperti pemungut cukai (Lukas 18:11). Begitu terasa aroma jumawa si pendoa, Farisi. Aroma serupa juga kuat tercium dari mulut si pendoa dalam Penutupan Sidang Paripurna MPR beberapa waktu lalu.
Itulah doa, multi guna fungsinya. Mau diapakai untuk tujuan yang lain dari makna asli sebuah doa ya ndak apa-apa. Toh nyatanya memang seperti itu adanya. Apalagi kalau maksud sempalan doa itu dibumbuhi dengan makna rohani. Tentu makin suci lagi dan makin tak tertandingi. Itulah yang diungkapkan Syafi’i saat dikonfirmasi oleh pewarta paska berdoa. Apa yang keluar dalam doanya merupakan HIDAYAH dari Tuhan (petunjuk Tuhan) kepadanya. Sebuah pungkasan kalimat yang amat sangat berkuasa. Sebab siapa yang berani menentang petunjuk Tuhan, kalau itu benar adanya demikian. Tapi bila melihat fenomenanya, maka rasanya Tuhan ndak mungkin menjadi pengecut dengan menyindir seseorang dalam sebuah doa. Tapi toh Tuhan juga membiarkan saja orang mengklaim demikian. Mungkin bukan hari ini Tuhan menghakimi, masih ada nanti.
Doa yang multi guna, silakan saja orang memakai dengan aneka cara, sesuai maksud, keinginan dan nafsunya. Silakan saja pakai mimbar doa untuk maksud yang beda, silakan saja sindir sini-sana. Tapi ingat konsekuensinya, silakan rasa. Sebab doa bukan memulu soal aku dan ingin diriku, 'Doa sejati adalah pengakuan dan penerimaan diri terhadap kehendak ilahi' (Yoh 14:7). Slawi