Rutinitas bisa menjadi jebakan yang mengerikan, bahkan dalam keagamaan sekalipun. Rutinitas kerja mampu mengi-kis habis gairah hidup seseorang sehingga tak lagi tahu mengapa harus bekerja. Dia dapat kehilangan alasan dalam menjalani peker-jaannya, sehingga pekerjaan menjadi beban yang maha berat. Sementara disisi lain pekerjaan menjadi kebutuhan hidup yang harus dijalani. Pada titik ini, orang bisa merasa tertekan, dan seringkali menjadi anti klimaks. Melepas pekerjaannya begitu saja, namun tak punya kegiatan berikutnya. Keputusan dibuat dalam keputusasaan. Jelas persoalan demi persoalan segera muncul kepermukaan menjadi ancaman yang menakutkan. Persoalan bergulir dari ruang kerja masuk kedalam rumah, dan tak jarang berakhir dengan perpecahan. Padahal, jika diurut kebelakang, tak ada alasan yang signifikan untuk sebuah perpecahan. Semua berjalan dari titik kecil yang terakumulasi menjadi gelombang besar yang menghantam apa saja. Ya, titik -titik kecil yang tak pernah diselesaikan telah mejadi badai dahsyat. Dapat anda bayangkan betapa mengerikannya jebakan rutinitas dalam kehidupan ini. Kita perlu selalu mawas diri, atau akan tewas diri. Karena itu selalu diperlukan komunikasi sehat sebagai jalur keluar atas tekanan yang datang. Keluarga harus dibangun menjadi benteng pertahanan yang solid. Bukan sekedar mengalihkan pekerjaan, apalagi melari-kan diri dari kenyataan. jangan sampai.
Dalam kehidupan rohani, Yesus pernah meng-kritisi sikap keagamaan Yahudi sebagai rutinitas keagamaan yang telah kehilangan nilai yang sejati. ya, sebuah ritual tanpa roh spritual. Dalam Matius 15:8, dikatakan bahwa Israel memulia-kan Tuhan hanya dengan bibir tapi tidak dengan hati. Rutinitas beribadah sudah merasuki mereka. Situasi yang sama juga terjadi saat ini. Umat terjebak dalam ibadah, tapi juga pertikaian antar anggota yang seringkali menyakiti satu sama lain. Baik langsung maupun tidak. Sehingga bagi sebagian orang merasa jenuh, bahkan tak jarang kemudian membatasi diri atau mengundur-kan diri. Tak lagi melayani, merasa lebih nyaman berlaku pasif. Padahal sangat jelas tuntutan Tuhan atas setiap orang percaya untuk hidup melayani dalam situasi apapun. Siap memberitakan Firman, baik atau tidak baik waktunya (2 Timotius 4:2). Segera muncul pertanyaan, apa yang seharusnya dilakukan agar senatiasa setia dalam men-jalani hidup melayani. Pertama, ingat agar tak terjebak rutinitas melayani. Untuk itu jalankan pelayanan, tapi jaga hubungan pri-badi dengan Tuhan lewat doa dan perenu-ngan Firman dalam saat teduh. Kedua, jeli menyiasati relasi dengan sesama tubuh Kristus. Karena relasi yang baik akan menjadi kebahagiaan sendiri. Tiap kita dituntut untuk selalu proaktif dalam saling memperhatikan. Belajar lebih mengenal dan memahami per-bedaan tempramen yang ada sebagai kekayan dalam kebersamaan. Ketiga, selalu belajar menjadi berkat besar, atau minimal tak menjadi batu sandungan. Keempat, harus terus menyegarkan diri dengan belajar teologi dan pelayan praksis yang tiada henti. Ini selalu diabaikan oleh banyak aktifis bahkan hamba Tuhan sekalipun. Sehingga semua merasa sudah banyak, atau bahkan serba tahu. Dan ini sangat berbahaya, perangkap rutinitas sedang menanti untuk menghabisi diri. Ingat, jangan sampai Tuhan menghardik.
Akhirnya, setiap umat Tuhan harus terus belajar dan berlaku bijak agar tak terinjak jaman yang semakin kejam. Selamat menang!