Kabar duka datang kembali. Seorang hamba Tuhan luarbiasa dalam melayani, sosok teladan dalam hidup, kepemimpinan dan laku itu telah dipanggil Sang Ilahi. Benar, telah usai perjuangan dan pengorbanan pelayanan dia di dunia yang sementara. Di sana, tempat kelak kita bersama menuju, dia telah bersama Kristus, tuan dan Tuhannya lebih dahulu. Pdt. Drs. Samuel Budi Prasetya,Msi, pendidik sekaligus gembala itu telah dipanggil menghadap Bapanya.
Itulah kematian, tak pernah disangka-sangka. Selalu datang tiba-tiba. Tak pilih kepada siapa dia akan datang. Imam pun awam. Gembala atau domba. Manusia separuh malaikat atau pendosa durjana. Ya, mati tak pilih kasih. Tua atau muda, semua sama saja dipandang oleh kematian. Tak terkecuali hambanya Pdt. Drs. Samuel Budi Prasetya. Dari segi usia, beliau tentu belum terlalu sepuh, setidaknya belum emeritus dari dunia pelayanan. Hasrat dan kecintaan beliau dalam melayani masih sangat menggebu-gebu, menjadi inspirasi bagi banyak hamba Tuhan muda.
Tapi apa mau dikata, semua terserah pada sang empunya hidup. Allah yang menganugerahi, Allah yang sama pula yang telah memanggil kembali. Tapi apakah kematian dalam kerangka teologisnya hanya berhenti pada tataran itu? Tentu saja tidak sejumud itu. Kematian memang akan terus dan selalu menghadirkan tanya di sekeliling orang yang mengalami. Bukan soal dukacita, karena itu memang sewajarnya, tapi soal mengapa. Ya lagi-lagi mengapa. Bukankah pelayanan seorang hamba Tuhan yang belum terlalu sepuh masih akan sangat maksimal dan potensial ke depan sana? Lalu kenapa di paruh baya usia itu dia dipanggil kembali? Ini salah satu pertanyaan yang hinggap di benak, menuntut jawab, tak Cuma soal karena DIA.
Dari perspektif kita sebagai manusia biasa, bertanya kenapa, adalah hal wajar. Tentu saja tidak selalu bisa dijawab. Dan kalaupun ada, tidak juga selalu memuaskan hati. Tapi bukan karena itu lantas kita berhenti bertanya, apalagi soal sesuatu yang pasti kita semua akan alami, MATI.
Tentu saja kita semua mahfum, bahwa mati, bagi orang kristiani bukan soal akhir dari kehidupan. Bukan juga sebuah kondisi ketiadaan nyawa. Bukan, bukan itu. Kalau mati hanya soal terpisahnya raga dan nyawa, apa beda manusia dengan binatang. Mati bagi orang kristiani adalah soal melompatnya diri dari batasan “sementara”, kepada sesuatu yang tanpa batas, di sana, di kekekalan. Lompatan dari sementara yang fana kepada yang abadi. Mati adalah soal persekutuan sempurna antara Allah dan manusia. Persekutuan kasih mesra antara Penyembah dan Subyek Sembahan. Bukankah itu yang kita semua rindukan?
Tapi lagi-lagi bukan perkara mudah. Bicara mati tak Cuma berhenti pada kata mati, tapi juga akibat yang ditimbulkan secara sosial pun personal. Secara sosial, apakah di matinya kita orang akan merasa sangat kehilangan, sama seperti perasaan umat terhadap Pdt. Samuel BP, yang merasa sangat berduka dan kehilangan sosok panutan? Jangan-jangan orang akan sangat gembira dengan ketiadaan kita. Apakah di matinya kita meninggalkan “MONUMEN” nama baik yang bisa dikenang hingga ke anak cucu kelak? Itu soal sosial, belum lagi soal perkara personal dengan kematian.
Apakah mati itu adalah momok menakutkan bagi diri kita secara pribadi, mengingat fakta memang demikian adanya. Mati bukan hanya sesuatu yang pamali untuk diperbincangkan, tapi juga sesuatu yang menakutkan. Bukan soal kembalinya kita kepada sang pencipta, tapi soal keterpisahan dengan keluarga, soal keterpisahan kita dengan simbolisasi DAGING kemanusiaan kita, NIKMAT, menjadi kata kuncinya.
Mati bukanlah akhir, tapi awal hidup kekal kita adalam pelukan Bapa. Kesukaan apa yang bisa menadingi kebersamaan kita dengan Bapa? Kebahagiaan yang bagaimana yang bisa mengalahkan bahagianya kita ketika bisa bersekutu secara sempurna, muka dengan muka, dengan sang empunya segala? Indahnya manunggal hidup dengan sumber kehidupan. Sesuatu yang luarbiasa indah, namun haru dilewati dengan MATI.