Sapaan Gembala

Antre

Penulis : Pdt Slamet Wiyono | Sat, 12 November 2016 - 13:19 | Dilihat : 2004
Tags : Antre

Antre, bukan barang asing. Sesuatu aktivitas yang sudah biasa dilakukan dan hal yang lumrah. Biasa, lumrah, dan umum bukan berarti mudah untuk dijalankan. Buktinya masih sering kita dengar pernyataan-pernyataan bernada satire. “bebek saja bisa antre.”Betapa tidak, agar bisa antre manusia dianjurkan untuk belajar pada binatang.

Antre sebetulnya hal sederhana yang bisa dilakukan orang. Tapi faktanya memang menunjukkan antre terlalu sulit dipraktekkan. Bukan karena tidak mungkin atawa mustahil dilakukan, tapi lebih karena keengganan orang mendisiplinkan diri untuk melakukan.

Beberapa waktu lalu saya punya pengalaman buruk dengan orang yang orah antre. Ini bukan antre bayara di kasir; antre sembako atau sumbangan; ini antre pasien rawat jalan BPJS yang ingin mendaftar untuk dilayani. Jam buka loket pelayanan pendaftaran memang tepat pukul 8.30 pagi, tapi pasien atau keluarga pasien sudah mengantre mendapat nomor urut sejak pagi. Bahkan ada yang datang dari sore hari sebelumnya. Bukan sistem dan prosedur antrenya yang dipermasalahkan, tapi orang-orang yang mengantre. Demi mendapat nomor di urut depan, orang yang sudah barang tentu sama-sama membutuhkan jasa layanan kesehatan itu rela melakukan kecurangan. Demi dilayani cepat, orang yang seharusnya mendapat nomor urut belakangan itu mencoret nomor antre pasien sebelumnya, lalu diganti dengan namanya atau nama keluarganya sendiri.

Ironis.. Mungkin lebih tepatnya miris, betapa rendahnya moral orang yang demikian egois. Alih-alih sama-sama menjaga dan berharap agar pelayanan kesehatan, mulai dari pendaftaran sampai penangan dokter berjalan dengan tertib sebagaimana mestinya, keberadaan orang yang ogah antre itu justru membuat pelayanan semakin semrawut. Si ogah antre itu seyogyanya sadar bahwa yang menginginkan pelayanan kesehatan bukan hanya dirinya sendiri. Gara-gara ulahnya, orang lain yang juga sama-sama sakit seperti dirinya itu menjadi korban.

Konon katanya, masyarakat/suatu komunitas/kelompok orang itu bisa menyatu, atau bisa menjadi semakin erat persatuannya jika ada isu yang sama; jika memperjuangkan hal yang sama; atau jika melawan musuh yang sama, tapi rupanya ini tidak berlaku bagi mereka yang menggunakan pelayanan rawat jalan dari BPJS. Tidak, bukan semua, tapi setidaknya bagi Si ogah antre itu. Sakit yang menjadi isu utama; Sakit yang menjadi “musuh” bersama itu tidak membuat dia menyatu, berempati dengan sesama orang sakit. Parahnya, justru mempecundangi lian yang notabene sesama orang sakit itu dengan mencurangi daftar nama.

Tega, sebenarnya tak cukup satu kata ini untuk mengungkapkan betapa rendah moral si ogah antre. Betapa tidak, tidak perlu menggunakan ayat-ayat dari kitab suci untuk mendukung pernyataan betapa bejatnya mental orang egois semacam itu, norma dan nilai-nilai etika di masyarakat saja sudah lebih dari cukup untuk menilai dan menghakimi tindakan tak bermoral semacam itu. Apalagi jika kemudian diperhadapkan dengan kitab suci. Bukankah firman Allah menyatakan, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. (Matius 22:39)” Kalau mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri, maka tak mungkin orang mencurangi diri sendiri; karena mencurangi lian sama saja seperti mencurangi diri sendiri. Tak mungkin orang menjadi egois, karena dengan egois dia sudah membuat lian menjadi korbannnya; artinya sama saja dengan menjadikan diri sendiri sebagai korban atas kelakuan sendiri. Slawi

Lihat juga

jQuery Slider

Komentar


Group

Top