Di Athena, orang-orang percaya yang memiliki maksud yang baik, mendirikan sebuah mezbah kepada seorang dewa yang tidak mereka kenal. Kita menyalahpahami kisah tersebut jika kita berpikir bahwa apa yang dicari orang-orang Athena adalah sekedar beberapa dewa-dewi yang tidak dikenal yang melayang di dalam kosmos. Dewa yang tidak mereka kenal tersebut yang mereka ingin hormati adalah suatu keberadaan yang mereka anggap tidak dapat diketahui, setidaknya dalam pengertian mereka seperti mereka mengenal Minerva atau Jupiter. Apa yang mereka pahami dalam beberapa hal memang benar bahwa di sana seharusnya ada seorang dewa yang tidak dapat mereka pahami.
Sikap tersebut tidak jauh berbeda dari beberapa orang yang hari ini menyebut diri mereka agnostic. Masalah mereka bukanlah bahwa mereka tidak percaya kepada allah, bukan itu pokok masalahnya, jika itu masalahnya mereka akan menyebut diri mereka atheis. Apa yang mereka percayai adalah mereka tidak dapat, bukan mereka tidak mau. Bagi mereka, kekuatan apapun yang mungkin menciptakan dan mengatur alam semesta adalah semata-mata terlalu agung, terlalu besar dan terlalu luas untuk dipahami. Maka mereka berkata bahwa mereka tidak mengenal allah tersebut karena mereka tidak dapat.
Jika anda memikirkannya, hal itu hampir kedengaran rohani, bukan? Tetapi kekristenan berdiri pada sisi yang berlawanan dari hal yang tidak benar ini. Ingat apa yang dikatakan Paulus di Athena; “Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu” (Kis. 17:23). Kenyataannya orang percaya dapat mengenal Allah. Tetapi mari kita jujur, banyak orang Kristen memiliki sikap yang berlebihan, berpikir bahwa mereka mengenal Allah sama persis Allah mengenal mereka. Pemikiran seperti ini adalah sebuah kekeliruan. Mengingat manusia adalah ciptaan dan terbatas, sedangkan Allah adalah Pencipta. Dia Sang Maha. Orang percaya hanya bisa mengenal Allah sebatas Allah berkenan menyatakan diriNya, dan itupun hanya kepada orang yang diperkenanNya.
Ketika kita mendekat kepada Allah, ketika kita mengenal Dia maka ketakutan kita dicairkan oleh kasihNya sehingga hubungan kita ditentukan oleh keduanya, yaitu rasa takut dan kasih. Di dalam hadiratNya, sikap terbaik kita adalah sebuah lutut yang bertelut dan mendekati Dia dengan hormat. Kita perlu kehadiran ilahi-Nya yang dalam di dalam diri kita, yang membentuk kehendak kita. Kita akan mengetahui bahwa Allah membentuk kehendak kita melalui apa yang kita ketahui di dalam hati kita dan melalui cara kita bertindak berdasarkan pengetahuan tersebut.
Ini merupakan sesuatu yang terjadi kepada kita semua. Melalui kehendak dan bentukanNya kita menjadi mengerti bahwa sesuatu yang sedang kita lakukan bukanlah hal yang diinginkan Allah. Mengetahui apa yang benar dan bertindak berdasarkan apa yang kita ketahui adalah hal yang berbeda. Manusia selalu berupaya untuk melakukan sebuah tindakan sesuai dengan kehendaknya, namun berat dan tidak mudah bagi manusia untuk melakukan apa yang menjadi kehendak Allah. Karena itu, mengetahui kebenaran dan bertindak atas dasar pengetahuan kebenaran tersebut melibatkan konflik yang nyata.
Mengetahui apa yang benar menuntut menyingkirkan apa yang salah dari natur lama kita. Tetapi bertindak berdasarkan apa yang kita percayaai mungkin lebih sulit, karena seringkali kita melawan kuasa-kuasa yang hebat dari dunia pada saat kita bertindak dengan Allah di dalam hati kita.
Jika kita mau jujur, kegagalan lain dalam hidup manusia adalah tahu apa yang benar, namun tidak melakukannya. Pada waktu kita gagal, kita sering menjadi kecewa dengan diri sendiri, dan hal itu sungguh-sungguh melukai. Kita mulai memberitahu diri sendiri bahwa pergumulan kita dengan suara hati kita adalah sia-sia, bahwa suara yang kecil di dalam diri kita semua tidak berpengaruh apa-apa. Mungkin lebih baik kita tidak mendengarnya. Jangan biarkan hal itu terjadi. Lebih baik untuk gagal di luar daripada menyerah di dalam, karena sikap putus asa di dalam berarti mengecilkan suara Allah yang ada di dalam diri kita, sama saja dengan menutup telepon ketika Allah ingin kita mendengarkan. Itu suatu petaka.
Apa yang mendasar di sini adalah apa yang ada di dalam. Kita bertumbuh dan bertumbuh di sepanjang kehidupan kita dan ketika kita menjalaninya, bertindak berdasarkan apa yang kita ketahui menjadi lebih mudah karena kita menjadi lebih kuat. Sudah pasti, kita bakal mundur dan kadang-kadang gagal. Tetapi kita hanya dapat belajar kehendak Allah dengan menjaga kedekatan kita, untuk mendengar suara-Nya. Kesenangan kudus yang nyata adalah bertindak berdasarkan apa yang kita dengar dari Dia, dan hal itu terjadi ketika kita mendekat kepada Allah. Amin Pdt. Netsen