Afrika Memerlukan Injil
JOHN Mbiti adalah teolog asal Afrika yang paling banyak menulis. Tulisannya menun-jukkan perhatiannya yang sangat luas, misalnya penelaahan Alkitab, tradisi agama Afrika pra-Kristen dan perjumpaannya dengan iman Kristen. Dia juga menulis tentang kebudayaan dan teologi Afrika. Ia lahir di Kitui, Kenya, Afrika pada 1931, dibesarkan di Gereja Afrika Pedalaman yang didirikan oleh Misi Afrika Pedalaman. Ia dididik di Universitas Makerere (Uganda) dan mendapat gelar Ph.D dari Universitas Cambridge pada tahun 1963. Setelah menjadi dosen tamu di Birmingham dan Hamburg, ia menjadi guru besar studi keagamaan dan filsafat pada Universitas Makerere. Pada 1972 ia menjadi direktur Institut Oiku-menis Dewan Gereja se-Dunia di Celigny, Swiss.
Seperti kebanyakan teolog Afrika, Mbiti sangat kritis terhadap usaha penginjilan di Afrika. Ia tidak puas dengan Gereja Afrika Peda-laman dan masuk Gereja Anglikan. Ia berterimakasih kepada Tuhan karena pekabar-pekabar Injil dari Eropa dan Amerika telah memba-wa Injil ke Afrika. Dan ia mengakui bahwa Afrika menghendaki dan memerlukan Injil tersebut. Te-tapi, Afrika tidak memerlukan “kekristenan yang diimpor”. Sebab kalau ter-lalu banyak hal-hal yang diimpor, itu hanya akan mengebiri bang-sa Afrika secara spiritual dan membuat orang Afrika jadi cacat spiritual. Yang dimaksud Mbiti dengan “kekristenan yang diimpor” itu antara lain adalah kekristenan bercorak Barat, di mana para misionaris berusaha memberlaku-kannya di Afrika, seperti berpakaian menurut budaya Barat, lagu, bangunan bercorak Barat, pemikiran Barat, dan lain-lain.
Menurut Mbiti, kalau toh harus ada kekristenan bercorak Afrika tulen, itu harus memiliki sangkut-paut dengan kepercayaan-kepercayaan Afrika sebelum kedatangan Kristen. Mbiti mempe-lajari kepercayaan tradisional Afrika bukan hanya sebagai riset antro-pologi, tetapi sebagai bagian dari tugas teologisnya. Pekabar-pe-kabar Injil di masa lampau pada umumnya memunyai sikap negatif terhadap kepercayaan-kepercaya-an Afrika ini. Mereka menganggap-nya sebagai pemujaan setan yang harus dihapus oleh Injil. Tapi Mbiti lebih suka melihat kebudayaan itu sebagai “persiapan menuju Injil”. Dengan demikian ia mengiakan sikap Clemens dari Aleksandria dan bapa-bapa gereja purba lainnya terhadap filsafat Yunani.
Dia menegaskan, pada dasarnya, orang Afrika sebelum kedatangan Kristen bukan ateis. Dia berpen-dapat, Allah Bapa dari Tuhan kita Yesus Kristus adalah Allah yang sama, yang telah dikenal dan disembah be-ribu-ribu tahun de-ngan berbagai cara dalam kehidupan beragama bangsa-bangsa Afrika. Jadi, IA bukannya tidak dikenal di Afrika sebelum kedatang-an para misionaris.
Kendati pun bersedia memberi peranan yang positif kepada kepercayaan-kepercayaan tradisio-nal Afrika, tidak berarti Mbiti me-nyangkal keunikan dan sifat akhir dari Yesus Kristus sebagai hakim segala kepercayaan lain. Menurut Mbiti, Injil masuk ke dalam setiap kebudayaan sebagai “orang asing”, dan menetap di sana. Injil tidak membuang kebudayaan yang ada, sebaliknya Injil menetap di tengah-tengah kebudayaan itu dan memberi dampaknya terhadap orang-orang yang hidup dalam lingkungan kebudayaan itu.
Kebudayaan Afrika harus me-nerima Injil dengan tangan terbuka sebagai tamu terhormat. Tetapi apakah itu berarti bahwa Injil tidak dapat mengkritik suatu kebudaya-an? Tidak. Semua kebudayaan manusia, betapa agung dan indah pun, tercemar oleh dosa. Injil tidak menolak kebudayaan tetapi mengubahnya. Injil mengadakan penilaian penuh rahmat atas kebudayaan. Ia mengevaluasi, mengadili dan mengubahnya. Lagi pula Injil itu melintasi batas-batas kebudayaan dan mengambil alih di mana kebudayaan sudah sampai pada batas-batasnya (seperti dalam soal hidup dan mati).
Oleh sebab itu, menurut Mbiti, orang Kristen adalah “musafir kebudayaan” dan bukan imigran yang menetap. Orang Kristen bergerak dengan kebudayaannya sebagai barang bawaan menuju tujuan eskatologis dari Injil.
?Hans P.Tan/dbs