Dalam masyarakat Jawa, ada satu istilah yang lazim digunakan untuk menjelaskan persekutuan yang sangat pribadi antara manusia dengan Gustinya (Tuhan). Istilah itu adalah “manunggaling kawulo lan gusti”, yang dalam artian harfiahnya berarti bersatunya hamba dan tuan. Istilah yang mengambarkan ekstase jiwa manusia tatkala menyatu dengan sinar terang ilahi, dalam alam “maya” yang tak bisa terjelaskan dengan kata-kata.
Tak hanya dalam masyarakat Jawa. Di belahan dunia lain, pada abad ke-6 juga pernah ada satu karya dari seorang Kristen yang sangat mirip (kalau tidak mau dikatakan sama) dengan pandangan umum orang Jawa tentang “manunggaling kawulo lan gusti”, yakni, “Teologi Mistis”. Dalam “Teologi Mistis” ini, tertulis satu nama pengarang yang adalah seorang rahib di Siria, dialah, Dionysius. Dalam ranah teologi masa itu karya-karya Dionysius sangatlah berpengaruh. Itu semua tak lain dan tak bukan adalah karena bobot dan kualitas dari karya-karyanya itu sendiri. Selain karya “Teologi Mistis” yang berbicara mengenai persekutuan mistik dari roh dengan Allah, masih ada beberapa karya Dionysius yang juga sangat berkualitas, diantaranya adalah: 1) “nama-nama ilahi” yang membicarakan nama-nama Alkitab bagi Allah serta sifat-sifat-Nya; dan 2) “Hierarki Sorgawi”, yang berbicara tentang kodrrat malaikat yang terbagi menjadi sembilan bagian.
Karya Dionysius umumnya adalah karya yang sulit dibaca. Bahkan salah seorang yang sempat menerjemahkan karyanya mengatakan “ia menyiksa bahasa untuk menyatakan kebenaran”. Pemikiran Dionysius sepenuhnya dipengaruhi oleh filsuf Neo-Platonisme, Proclus, yang meninggal tahun 485. Menyitir pandangan Neo-Platonisme, pria yang berasal dari Areopagus ini berpendapat bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang sifatnya sangatlah transenden, Allah yang sangat besar, agung dan mulia. Menurutnya, Allah melebihi segala sesuatu yang dapat kita pahami. Ia diatas keberadaan, hakikat atau kepribadian. Allah adalah “sebab Universal dan keberadaan, walaupun Ia sendiri tidak berada, karena ia adalah diatas segala keberadaan” (nama-nama Ilahi 1:1)
Karena itulah Dionysius mengetengahkan suatu cara mengenal Allah, menurutnya, mendekati Allah hendaknya melalui via negativa (cara negatif) atau melalui pendekatan teologis “apofatis”. Artinya, kita berbicara mengenai Allah tidak dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya, melainkan dengan menyebutkan yang bukan menjadi sifat-Nya. Misalnya, secara positif Allah dipanggil sebagai Bapa atau Hakim. Kalau kita sebut Allah sebagai Bapa atau Hakim, kita menyamakan-nya dengan bapa-bapa atau hakim-hakim dunia. Cara seperti ini, dari satu sudut memang terlihat baik dengan memandang Tuhan sebagai Allah yang Transenden – Allah yang besar dan Agung, sekaligus tak mungkin dijangkau manusia dengan seluruh aspek inderawinya. Akan tetapi dari sudut lain, cara seperti ini juga menafikan keberadaan Allah yang imanen, yang menyejarah yang berkarya didunia manusia dan juga berada dekat dihati manusia itu.
Tidak hanya dalam tataran teologis, Dionysius juga memakai pendekatan negatif ini kedalam tataran praksis, yakni dengan mengetengahkan jalan mendekati dan masuk ke dalam kesatuan dengan Dia. Kemungkinan besar, cara yang diketengahkan oleh Dionysius masih didasarkan pada Neo-Platonisme yang “di-kristen-kan”. Menurut ajaran ini, seorang pengikut mistik akan mencapai kemanunggalan dengan Allah dan “menjadi seperti Allah”.
“saya anjurkan agar dalam melaksanakan renungan mistik, kamu melepaskan segala kesadaran dan kegiatan intelektual serta segala sesuatu yang dapat diterima oleh indra-indra atau akal, serta segala-galanya dari dunia ketiada-an ataupun dunia keberadaan. Setelah mengistirahatkan pemahamanmu, berikhtiarlah menuju penyatuan dengan Dia, yang tak tercakup oleh makhluk atau pengertian manapun. Sebab, dengan pengingkaran dirimu secara mutlak dan tanpa henti-hentinya serta pengingkaran terhadap segala benda, dalam keadaan murni kamu dapat mengesampingkan segala benda dan dibebaskan daripadanya. Dengan demikian kamu akan terbawa ke atas sinar Kegelapan Ilahi yang melebihi segala keberadaan (Teologi Mistik I)
Merenung, hening sesaat, membuka diri dan mengoreksi diri, sekaligus mengingat dan mengarahkan pikiran pada Tuhan dengan segala kebaikan dan karya-Nya merupakan ritual meditasi yang biasa dilakukan dan tentunya positif untuk terus dikerjakan. Tapi tatkala ada meditasi yang bertujuan “menyambut keilahian diri”, mendekati Tuhan dengan mengosongkan pikiran dari hal-hal yang bersifat duniawi, sekaligus menyangkali diri dan terbebas dari alam inderawi, melepaskan segala pikiran masuk kedalam alam ekstase diri merupakan bentuk meditasi yang perlu dipertanyakan. Manusia adalah ciptaan, bukan pencipta, keduanya memiliki substansi yang jauh berbeda, karena itu tak pernah mungkin ciptaan dapat menjadi pencipta. Dan sia-sia belaka anggapan ciptaan bisa menjadi pencipta. Kalaupun ada, pasti hanya khayalan semata. Slamet W/dbs