Memahami Sisi Kemanusiaan Alkitab
ADA beberapa nama teolog yang secara khusus konsern dengan persoalan Alkitab. Baik yang secara khusus menggali persoalan teologi sistematis, mau-pun yang berhubungan dengan pe-nelitian dan penafsiran Alkitab. Salah satu di antaranya adalah Gerrit Ber-kouwer, seorang teolog yang sa-ngat peduli dengan teologi tentang Alkitab, yang sekaligus juga seorang penulis yang sangat produktif.
Meski sepanjang kariernya Berkouwer tak menghasilkan satu teologi sistematis tertentu, namun pria yang dilahirkan sekitar tahun 1903 ini berhasil menulis satu seri dari empat belas penyelidikan dog-matis. Kariernya sebagai seorang teolog, ia awali dengan belajar teologi di Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda. Seusai studi di tempat tersebut, Berkouwer diangkat menjadi pendeta di Gereja Gereformeerd – gereja yang memisahkan diri dari Gereja Hervormd Belanda. Beberapa waktu kemudian dia kembali ke tempat penggemblengannya, meresponi surat panggilan untuk mengajar kembali di Vrije Universiteit sebagai profesor di bidang dogmatik.
Dalam setiap pengajarannya, Berkouwer selalu menekankan bahwa, tujuan para teolog bukan untuk menghasilkan suatu sistem yang logis, koheren semata-mata. Teologi harus berhubungan dengan Alkitab dan keperluan mimbar. Menurutnya, minimal ada tiga hal yang perlu diperhatikan dari teologi: 1) Teologi itu berhubungan dengan firman Allah, karena itu teologi harus senantiasa perhatian, taat dan mendengarkan firman Allah; 2) Soal-soal teologi harus memiliki relevansi denganb konteks yang ada; 3)Teologi harus memiliki arti juga di masa-masa tidak senang. Dengan demikian, bagi Berkouwer, teologi itu bukanlah sesuatu yang diciptakan hanya lantaran untuk kepuasan teolog semata, tapi juga harus berdampak pada kehidupan orang-orang sekitarnya dalam masa dan waktu yang tepat.
Seperti telah disingggung di atas, Berkouwer adalah seorang penulis yang sangat produktif. Dari sekian banyak karya yang dihasilkannnya, ada satu karya yang sangat kontroversial yang keluar dari rahim olah nalarnya, dengan judul “Kitab Suci”. Dalam buku ini dia jelaskan bagaimana ia mengaku Alkitab “diilhamkan Allah” (2 Tim 3:16). Dengan ini Berkouwer mengakui secara langsung bahwa Alkitab adalah sabda Allah. Namun demikian, Berkouwer mencoba lebih fokus menilik segi yang lain dari Alkitab, yakni segi kemanusiaannya. Sebab menurutnya, keilahian yang ada dalam Alkitab tidak serta-merta meniadakan unsur manusiawinya.
“Penting sekali kita mengakui sifat kemanusiaan Alkitab,” kata Berkouwer. Sayangnya banyak orang kurang memperhatikan hal ini. Padahal, mengabaikan segi kemanusiaan ini, dapat mengakibatkan mereka salah tafsir. Yang dimaksud dengan kemanusiaan Alkitab adalah tatakala Allah memberikan Roh-Nya kepada penulis-penulis Alkitab supaya “melalui kata-kata mereka, Allah dapat dipercaya, sekaligus berwewenang untuk mencatatkannya bagi gereja di segala abad”. Unsur manusiawi tersebut dapat digambarkan dengan bahasa yang digunakan, bentuk sastra dan konteks atau keadaan waktu itu.
Meskipun demikian, menurut Berkouwer, kemanusiaan Alkitab hendaknya jangan diartikan bahwa Alkitab bukan firman Allah. Bukankah Yesus Kristus telah menerimanya sebagai firman Allah. Jikalau demikian, tak ada satu pun dasar atau pedoman yang bagi gereja Tuhan kecuali Alkitab.
Alkitab seperti kompas kehidupan bagi umat. Tatkala umat sudah mulai melenceng arah, maka kompas tadi akan menunjukkan kepada kita. Dan tatkala kita sudah jauh lari dari jalan yang harus ditunjukkan, maka kompas tadi akan mengarahkan kita kembali ke arah dan jalur yang telah ditentukan. Karena itu, kita perlu memahami Alkitab dengan baik, entah dari segi keilahiannya, maupun segi kemanuasiannya. Sebab dengan memahami dari kedua segi itu, maka kita akan dihantarkan pada satu kebenaran yang nyata. Tidak hanya ada dalam tataran abstrak nun jauh di sana, tapi juga kebenaran yang dapat dimengerti dengan akal manusia. ? Slamet Wiyono/dbs