Kala Gereja tak lagi bersuara.
Persoalan tentang apa itu ada, untuk apa ada dan bagaimana memaknai keberadaan ini merupakan pertanyaan-pertanyaan dasar tentang keberadaan realitas. Pertanyaan seperti inilah yang dipakai oleh banyak teolog dan filsuf untuk mempertanyakan segala relaitas yang ada di seluruh jagad raya ini, baik yang sudah ada dan yang mungkin ada – termasuk juga mempertanyakan diri dan Tuhan. Adalah Soren Kierkegaard salah satu filsuf yang menggumuli persoalan seperti ini.
Pria bernama lengkap Soren Aabye Kierkegaard ini banyak menyibukkan dirinya dalam persoalan filosofis yang bagi banyak orang terlalu njlimet bagai diawang-awang nan abstrak itu. Ini semua bukanlah satu kegiatan yang bersifat ringan dan iseng saja – tapi merupakan bagian dari studi panjang ilmu teologinya sejak 1840 itu.
Adalah sebuah kebahagian jikalau seseorang tidak pernah dilahirkan. Ungkapan ini sangat cocok bagi Kierkegaard. Sebab sudah sejak lama hidup Kierkegaard berada dalam kesusahan. Kelahirannya dalam keluarga sederhana sebagai anak bungsu tujuh bersaudara pada di 5 Mei 1813 di Kopenhagen, Denmark, merupakan awal penderitaannya itu. Beberapa literatur juga pernah menyinggung bagaimana masa kecil Kierkegaard yang tak bahagia.
Tulisan-tulisan Kierkegaard sendiri umumnya adalah hasil dari kehidupannya yang tragis dan menyendiri ini. Karena itulah beberapa karya tulisanya terkesan memberontak keadaan tidak adil yang sedang dialaminya. Salah satu karya Kierkegaard yang tajam dihasilkannya menjelang akhir hayatnya yang telah dikumpulkan dalam buku Attack upon Christendom. Merupakan kecaman paling keras yang pernah ditulis. Setidaknya, sepuluh artikel termuat di dalamnya sebagai kritik terhadap gereja yang dianggap Kierkegaard sudah melenceng dari hakikat gereja yang semestinya. Kierkegaard menganggap para imam dan gereja tidak lagi mewartakan Injil Kristus, tetapi mewartakan pesan kemapanan dan kegembiraan. Gereja justru memberikan rasa aman, penghargaan, dan kedudukan dalam masyarakat. Ia melihat gereja sudah mempermainkan Allah dengan memberitakan sesuatu yang menyimpang dari kekristenan Perjanjian Baru (PB). Ia menyerang kedangkalan orang kristen KTP, yang dijalankan dalam kekristenan pada umumnya.
Seperti telah disinggung diatas, Kierkegaard juga menghasilkan karya yang erat berhubungan dengan persoalan siapakah Allah dan siapa manusia. Menurutnya, ada satu kesenjangan antara Allah dan manusia. Antara yang tak terbatas dan terbatas. Antara suatu waktu dan kekekalan. Ada jurang pemisah antara Allah yang kudus itu dengan manusia yang sudah bejat. Dan kesenjangan ini hanya dapat dijembatani oleh Allah sendiri. Ini sudah dilakukan oleh Yesus tatkala turun kedunia menjadi anak manusia. Dengan adanya kesenjangan ini tak mungkin manusia dapat mengerti Allah dalam kualitas-Nya yang sempurna. Kalaupun manusia mengerti, itu hanyalah fenomenanya saja. Sebab menurut Kierkegaard iman yang membuat manusia mengerti tentang Allah itu merupakan iman yang “tak rasional” (supra rasional). Iman itu merupakan keputusan pribadi, suatu tindakan penegasan, lompatan ke dalam gelap. Mengutip dari statemen Tertulianus, Kierkegaard menyatakan bahwa iman bukanlah hasil akhir dari suatu bukti, matematika.
Meskipun banyak teolog dan masyarakat memandang Kierkegaard sebagai pemberontak, namun usahanya itu bukan tak beralasan. Ada banyak kebenaran yang patut di sikapi dengan arif dari tulisan Kierkegaard. Kini, sudah saatnya gereja berbenah, tak hanya menilik dan berkomentar diluar, tapi juga rela menengok diri dalam cermin, agar tampak siapakah diri ini. Benarkah apa yang dikatakan Kierkegaard? Jikalau memang ada kebenaran dibalik itu, mengapa perubahan itu tak segera usahakan. SW/dbs