Tokoh

Matteo Ricci, Misionaris Di China

Penulis : Pdt Slamet Wiyono | Tue, 31 October 2017 - 16:37 | Dilihat : 1985

Pendekatan Simpatik terhadap Budaya Lokal

Meresponi panggilan Tuhan sebagai seorang misionaris bukanlah satu keputusan yang mudah. Pasalnya, selain mengemban tugas berat dengan hidup di ladang pelayanan yang sangat berbeda dengan lingkungan yang dia kenal sebelumnya, jurang budaya yang tak dangkal, membuat banyak misionaris acapkali gentar menghadapi tugas pelayanan. Namun semua itu bukanlah satu hal yang cukup berarti bila dibanding misi membawa anugerah Allah yang jauh lebih mulia. Karena itulah segala sesuatu, termasuk kerelaan “melebur diri” dalam budaya lokal, memahaminya, lalu membekali diri dengan pemahaman tadi – sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi diri merupakan hal yang teramat penting.

Adalah Matteo Ricci, seorang Jesuit berkebangsaan Italia, salah seorang yang begitu menghargai budaya lokal China – di mana dia ditugaskan sebagai pemberita kabar baik dari Tuhan. Dia hidup dalam kurun 1552-1610.

Kemajemukan, jurang budaya dan ide sama sekali tak membuatnya takut. Bahkan Ricci justru mencintai budaya yang baru dikenalnya itu.

Kecintaannya terhadap budaya China ditandai dengan bagaimana Ricci bergaul aktif bersama penduduk lokal, bahkan semenjak kedatangaannya di Macau tahun 1582, ahli ilmu alam ini dengan cepat menguasai bahasa Mandarin, baik lisan maupun tertulis. Uniknya lagi, sehari-hari Ricci juga berbusana dan berperilaku layaknya seorang cendikiawan Tionghoa dengan jenggot panjang dan jubah kebesaran serta topi kewibawaan khas pejabat China. Tak heran, perawakan Ricci lebih mirip seorang China daripada misionaris Itali.

Ricci adalah seorang yang sangat terpelajar lagi pintar bersosialisasi. Tak heran banyak orang waktu itu terkesan kepadanya. Kepandaiannya dalam menalar dan menyelidiki kemudian dipakainya menelusuri berbagai hal yang berhubungan dengan budaya China. Kepiawaiannya dalam bidang bahasa China, baik lisan maupun tulis sangat membantu Ricci dalam mengembangkan wawasan intelektual orang lokal dengan memperkenalkan filsafat barat kepada orang Tiongkok. Tak hanya itu, kepiawaiannya itu juga dipakainya menerjemahkan banyak buku mengenai filsafat Tiongkok, khususnya filsafat Confuciusme yang digemari banyak orang.

Melihat totalitas pengabdiannya dalam memperlengkapi pengetahuan intelektualitas penduduk lokal, pantaslah jika di kemudian hari ia dianugerahi penghargaan dari kaum terpelajar dan kaisar karena keahlian dan pengetahuannya di bidang sastra Tiongkok.

Terhadap kebudayaan Tiongkok, Ricci Matteo tak pernah menganggapnya sebagai budaya “kafir”, dalam artian bertentang secara radikal dengan iman Kristen. Bahkan Ricci justru melakukan pendekatan simpatik terhadap budaya tiongkok. Hal ini lebih menghasilkan buah iman yang mantap sebagai salah satu cara dalam penginjilan presensi (kehadiran). Salah satu buah penginjilannya itu adalah seorang penduduk lokal yang dibaptis dengan nama Paulus hsu Kuang-chi, yang di kemudian hari menjadi bapak misi di Shanghai.

Beberapa karya Ricci sangat populer di kalangan terdidik Tiongkok, khususnya “Ajaran Benar tentang Tuhan” yang tergolong sebagai sastra klasik Tionghoa. Dalam buku tersebut digambarkan bagaimana ajaran Kristen merupakan penyelesaian dari tradisi Tionghoa yang termulia. Hal ini dilakukan karena memang sulit mewartakan satu bentuk agama baru kepada masyarakat Tionghoa - dan sudah dapat dipastikan akan ditolak mentah-mentah.

Pelayanan Ricci berbuah melimpah. Tak kurang dari 2.000 orang Tionghoa kalangan atas dan terpelajar bertobat menjadi Kristen melalui media, penjelasan dan pengajaran yang Ricci terapkan. ? Slawi

Lihat juga

jQuery Slider

Komentar


Group

Top