Sapaan Gembala

Direformasi Untuk Mereformasi

Penulis : Pdt Netsen | Tue, 14 November 2017 - 16:23 | Dilihat : 1904
Tags : Reformasi

Peristiwa lima abad silam di pintu Gereja Castle di Wittenberg merupakan peristiwa penting dalam sejarah. Nilai signifikansinya bukan terletak pada tindakan heroic Luther, tetapi tindakan heroic Allah yang masih berkenan menggunakan seorang Luther. Luther yang adalah seorang biarawan dari ordo Agustinian. Sebagai seorang biarawan maka, maka sebelum tahun 1517 Luther tidak merasa keberatan dengan indulgensia, purgatory, orang-orang kudus sebagai mediator selain Kristus. Indulgensia memang sangat menarik, karena siapa manusia yang tidak ingin dosanya dihapuskan? Siapa manusia yang tidak ingin masuk surga hanya dengan membeli sebuah surat pengampunan dosa maka dia bisa masuk surga? bagi kaum elit dan penguasa hal ini bukan perkara yang sulit, namun hal ini adalah problem besar bagi kaum lemah dan miskin. Dengan indulgensia pintu surga seakan terbuka lebar bagi kaum elit tetapi tertutup dan terkunci erat bagi kaum miskin. Miris bukan?

Ketika penebusan dosa dan surga diperjualbelikan oleh gererja (Paus), Allah menuntun Luther, sehingga Luther menyadari deformasi yang sedang terjadi di sekitarnya. Kesadaran ini tidak muncul sekonyong-konyong, tetapi didahului oleh sebuah kegelisahan yang tak seorangpun bisa memastikan kapan. Dimulai dari kegelisahannya bergumul dengan dosanya. Tangga Pilatus pernah ia daki dengan lututnya demi menggapai belas kasihan Allah. Luther melihat kesiasiaan beragam usaha manusia mencari Allah dan pengampunan-Nya. Allah kemudian menuntun Luther mempelajari Alkitab dengan lebih serius. Kebenaran Allah dalam Injil Kristus yang disingkapkan oleh Allah kepada Luther kemudian mulai mengubah hidupnya. Melalui Injil, Roh Kudus ‘melahirbarukan’ dan mencelikkan Luther untuk melihat kebenaran. Dari sanalah Luther menyadari betapa jauhnya gereja telah menyeleweng dan membalut penyelewengan-penyelewengan massif tersebut dengan kesalehan religius sehingga merusak. Luther pun akhirnya memilih untuk berdiri di atas Firman, mengkritik tradisi yang bertentangan dengan Firman, menyerukan Reformasi terhadap gereja, serta melawan segala usaha untuk melanggengkan deformasi yang menggerogoti gereja dan masyarakat di jamannya. “Here I stand! Can do no others!”

Di sini kita melihat bahwa, sebagai sebuah respons, Reformasi tidak terlepas dari deformasi. Reformasi tidak berasal dari dirinya sendiri. Reformasi tidak terjadi karena semangat hegemoni. Tetapi sebuah perenungan dan refleksi tentang panggilan Allah bagi mereka yang kepadanya Tuhan menuntun manusia yang telah tersesat untuk kembali kepada kebenaran-Nya. Gereja yang diutus Allah untuk menjadi garam dan terang dunia sudah menjadi tawar dan redup. Alih-alih menyampaikan suara kenabian, gereja malah menjadi agen pelanggeng dekadensi teologi, moralitas, politik, ekonomi dan sosial masyarakat. Akar dari deformasi yang komprehensif ini adalah krisis spiritual gereja yang dahsyat, gereja telah meninggalkan kasih yang mula-mula, misi dan panggilan Allah baginya, gereja tidak lagi membawa orang kepada Kristus dan memuridkan mereka di dalam Kristus. Di tengah zaman yang resah tak tentu arah dan pijakan itulah Allah memanggil Luther. Luther telah direformasi oleh Allah sehingga dia kuat dan berani untuk mereformasi. Dia tidak gentar, walau dia sadar bisa jadi dia akan mengalami eksekusi biadab yang akan dilakukan oleh gereja kepadanya layaknya gereja telah mengeksekusi para reformasi pendahulunya seperti John Wycliffe (1386), John Hus (1415) dan Girolamo Savonarola (1498).

Sebagai orang yang telah direformasi oleh Allah, teruslah kobarkan semangat hidup dalam melayani-Nya menjadi saksi bagi nama Tuhan dalam seluruh aspek hidup dimanapun Tuhan hadirkan. Pancarkan cahaya Injil pada dunia yang gelap dan tetaplah memberi rasa ada dunia sehingga hidup yang telah direformasi oleh Allah menjadi berarti bagi sesama. Pdt. Netsen

Lihat juga

jQuery Slider

Komentar


Group

Top