Kehendak Allah adalah hal yang unik, ajaib dan tak mudah dipahami dengan akal atau pikiran manusia yang terbatas. Namun demikian manusia tidak boleh berhenti lalu pasrah, pesimis dan menjadi orang yang pasif dalam merencanakan hidup. Manusia dituntut untuk menatakelola hidup sehingga hidup manusia menjadi hidup yang bertanggung jawab pada Allah yang memberi anugerah, pada diri yang akan menjalani hidup dan pada sesama yang Tuhan hadirkan disekitar diri kita. Hal ini merupakan pola segitiga tanggungjawab hidup.
Dalam menjalani kehidup yang bertanggung jawab, manusia tentu mempunyai rencana. Tetapi apakah rencana manusia adalah seturut dengan kehendak Allah atau kah hanya menurut kehendak diri nya? Apakah dalam rencana yang dibuat oleh manusia adalah berorientasi pada Allah atau berorientasi pada dirinya? Apakah manusia dalam membuat rencananya berlandakan karena seluruh kemampuan yang dimilikinya atau kesadarannya karena dia manusia yang lemah dan terbatas, sehingga manusia menyerahkan rencananya pada pimpinan dan kehendak Allah?
Dalam salah satu bagian dari surat Yakobus ada hal yang sangat menarik untuk diperhatikan atas suatu perencanaan yang dibuat oleh manusia. Orang yang membuat rencana tersebut serta rencana yang dibuatnya mungkin dapat menjadi gambaran dari diri kita dengan rencana-rencana yang kita buat. Tetapi bila dibaca maka dalam bagian tersebut, Yakobus bukan memberikan pujian pada orang tersebut tetapi justru memberikan kecaman yang keras. Ini tentu saja dapat menjadi pembelajaran bagi kita.
Setiap manusia memiliki keunikannya masing-masing dalam menjalani kehidupannya. Ada orang yang mempunyai sifat impulsif, manusia tipe ini gerak cepat mengikuti gerak hati dan tanpa perencanaan terlebih dahulu. Seringkali orang impulsif kurang matang dalam perencanaan tetapi ada juga yang impulsif-sistematis, manusia tipe ini mempersiapkan sesuatu hal dalam waktu yang sangat pendek tetapi hasilnya sangat memuaskan. Ada juga orang yang berencana secara detail, setiap tindakan direncanakan waktu dan berbagai kemungkinannya. Tetapi arah dan hasilnya juga belum tentu memuaskan. Apapun hasil yang akan dicapai, maka perencanaan tetap harus ada, jelas, teratur dan terukur. Rencana yang baik, sistematis dan terukur tentu perlu suatu tindakan untuk melaksanakannya.
Orang yang mempunyai perencanaan merupakan tanda bahwa dia bijaksana. Alkitab mengatakan bahwa sebuah negara akan berbahagia jikalau banyak penasihatnya, maksudnya: mempunyai perencanaan yang bagus dalam segala bidang. Perencanaan atas segala sesuatu adalah hal yang Yesus ajarkan. Dalam pengajaran-Nya, Yesus bagaimana orang yang akan membangun rumah atau menara, mereka tentunya harus membuat serta memiliki perencanaan. Demikian juga dengan raja yang akan berperang tentu mereka akan memiliki perhitungan yang baik. Tidak hanya itu, Yesus bahkan mengingatkan bahkan ketika orang ingin mengikuti Dia dan menjadi murid-Nya mereka harus mengetahui perhitungan dalam hidup bersama-Nya, yaitu akan ada resiko berat dari dunia yang menolak dan melawan mereka. Karena itu ketika orang mengikut Kristus dan ingin menjadi murid-Nya mereka harus siap menyangkal diri dan memikul salib lalu mengikuti Dia. Keputusan untuk mengikut Kristus bukan sekedar pertimbangan surga atau neraka, melainkan kerelaan untuk mau dibentuk oleh Allah, hidup dalam kesetiaan dan ketaatan kepada kehendak-Nya rela menderita untuk Dia.
Yakobus mengecam cara merencana dengan sikap hati yang salah, yaitu penuh dengan kecongkakan dan kemegahan diri. Kita tahu mengenai kedaulatan Tuhan, kemuliaan Tuhan, dan kita ini hanyalah ciptaan, lalu mengapa ketika berencana, rencana tersebut tidak ada kaitannya dengan Tuhan dan kedaulatan-Nya? Perencanaan justru disertai sikap hati yang mau mengontrol segala sesuatu. Tak hanya itu, perencanaan merupakan lambang hikmat sekaligus secara paradoks merupakan lambang keterbatasan. Manusia membuat rencana menunjukkan bahwa dia berhikmat sekaligus terbatas. Membuat rencana merupakan antisipasi terhadap kejadian di masa depan. Rencana boleh belajar dari masa lalu tetapi selalu diperuntukkan untuk masa depan. Jadi manusia berencana karena dia bersandar kepada Tuhan, karena masa depan tidak menentu. Manusia yang berpegang pada tangan Tuhan, membuat rencana karena sadar bahwa dirinya bersifat terbatas. Namun ketika manusia membuat rencana dengan sebuah kecongkakan dan bahkan perencanaannya untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu sehingga diri menjadi pusat dari sebuah rencana dan pusat dari apa yang ingin dicapai maka hal demikian akan bertentangan dengan rencana dan kehendak Allah. Hal yang demikian adalah rencana yang demikian adalah suatu perlawanan terhadap kehendak Allah. Ingatlah akan peristiwa yang dibuat oleh manusia dalam rencana dan usaha untuk membangun sebuah manara Babel. Apa yang terjadi? Apa yang dilakukan Allah terhadap rencana dan upaya manusia tersebut? Akibatnya manusia menjadi kacau-balau. Rencana dan upaya manusia tersebut menghasilkan perpecahan dan tercerai berai. Mengapa? Karena yang menjadi pusat dari perencanaan dan usaha dalam membangun menara Babel tersebut adalah diri mereka. Bukan berpusat pada Allah.
Ketika manusia merasa diri mereka mampu, bisa, kuat dan dan punya modal yang bisa diandalkan, maka kecenderungan manusia adalah mengandalkan diri dan berpusat pada diri. Itulah kecongkakan manusia dalam mebuat sebuah rencana. Hal demikianlah yang dikecam oleh Yakobus ketika ada orang yang merencanakan untuk pergi ke salah satu kota untuk berdagang dan mendapat untung di sana. Mereka tidak melihat apa yang mereka rencanakan dan akan lakukan sebagai sesuatu yang dikehendaki oleh Allah (Yak. 4:13-17). Dan Yakobus melihat hal yang demikian sebagai suatu rencana dan sikap yang congkak dari manusia.
Kita yang percaya kedaulatan Tuhan juga seringkali melupakan Tuhan ketika kita melakukan perencanaan. Ketika berencana, yang ada di pikiran kita hanyalah diri kita sendiri dan meniadakan perspektif kekekalan, padahal diri kita hanyalah uap. Hidup kita anggap sukses ketika perencanaan yang kita buat dapat berjalan dengan baik, sedangkan hidup dikatakan gagal ketika perencanaan kita gagal. Betulkah ukuran keberhasilan maupun kegagalan hidup adalah dari perencanaan? Hal ini sangatlah mengerikan dan menunjukkan bahwa kita sangatlah anthroposentris ketika berencana.
Yunus mau pergi ke Tarsus tetapi akhirnya pergi ke Niniwe. Apakah Yunus gagal? Menurut perspektif Yunus, hal ini merupakan kegagalan tetapi menurut perspektif Tuhan hal ini sangat obyektif karena sesuai dengan kehendak-Nya. Karena itu rencana kita haruslah terbuka, yang diawali dari Tuhan dan dijalani dengan terbuka, artinya mau terus mensinkronkan dengan rencana Tuhan. Hal ini memang terkadang tidak nyaman bagi kita, tapi kalau kita berjalan sendiri maka kita bukan saja berbenturan dengan Tuhan, tetapi kita akan berjalan dalam rel yang semakin jauh dari rel yang dikehendaki oleh Tuhan.
Kita tentu bisa memiliki banyak rencana, kita akan bisa membuat rencana dengan indah, teratu dan terukur, tetapi jikalau rencana yang kita buat untuk membangun kehidupan kita maka rencana tersebut hanyalah suatu kesia-siaan. Karena itu mari kita selalu menyerkatan dan menyerahkan setiap rencana apa pun yang kita buat ke dalam kehendak dan pimpinan Tuhan. Amin - Pdt. Netsen