Hidup adalah sebuah anugerah. Tidak seorang pun dari manusia yang memiliki inisiatif, meminta atau memesan untuk dilahirkan. Fakta, bahwa manusia lahir ke dalam dunia. Dia ada, hidup, bergerak, beraktivitas, dan berinteraksi seorang terhadap yang lainnya. Tak hanya itu. Manusia yang lahir dan hidup dalam dunia kemudian akan mati. Kalau kematian pada akhirnya akan dialami oleh manusia, lalu pernahkankah kita bertanya, berpikir dan merenung bertanya, mengapa saya hidup? Untuk apa saya hidup? Apa tujuan hidup saya? Toh pada akhirnya saya lahir hidup lalu akan mati? Itu berarti bahwa manusia hanya sementara saja di dunia, siapa pun dia.
Semakin manusia memikirkan tentang hidup, semakin dia sadar akan kematian. Sebaliknya, semakin manusia sadar akan kematian, semakin dia memikirkan mengenai makna hidup. Orang yang sadar akan hidupnya yang sementara saja dalam dunia maka dia akan mengukir hari-hari hidupnya dengan hal-hal yang benilai hidup kekal. Itulah orang berhikmat. Tetapi orang bodoh akan menyia-nyiakan hidup yang sementara. Mereka mengejar apa yang menjadi kesenangan dan kepuasan diri.
Orang percaya sadar bahwa misteri kehidupan dan kematian tidak menakutkan, Karena ia mengenal siapa yang memegang hidup dan matinya, yaitu di tangan Sang Penghulu hidup. Pesan penting dari apa yang Alkitab katakan bahwa pembicaraan mengenai kehidupan dan kematian bukanlah secara jasmani kita hidup atau mati, melainkan yang terutama berbicara mengenai relasi manusia dengan Allah. Manusia dikatakan hidup ketika berelasi dengan Allah, dan bisa berespons kepada Allah dengan benar. Sayangnya, manusia yang jatuh dalam dosa tidak lagi memiliki relasi dengan Allah yang menciptakannya. Itu sebabnya, manusia mati walaupun secara jasmani hidup. Akibatnya, manusia kehilangan makna sesungguhnya dari menjadi seorang manusia. Tidak heran mengapa manusia takut menjalani hidup ini, manusia berusaha mencari makna di tengah kegelapan dunia dan tidak menemukannya. Manusia tidak tahu bagaimana menjalani hidup ini. Semua ini karena manusia adalah seorang berdosa.
Kegelisahan manusia ketika memikirkan kehidupan dan kematian tidak terlepas dari fakta bahwa kita semua sudah jatuh ke dalam dosa. Ketakutan ini muncul karena pada dasarnya semua manusia menyadari di dalam hati kecilnya, bahwa ia berada di dalam posisi yang tidak aman. Hatinya kosong, karena tempat yang seharusnya diisi oleh Sang Pencipta telah menjadi kosong karena pemberontakan manusia terhadap Allah. Oleh karena itu, segala usaha manusia, baik dengan berbagai hiburan, prestasi diri, maupun berbagai aktivitas rohani atau kejiwaan, tidak dapat mengisi ruang kosong ini. Karena ruang kosong itu hanya dapat diisi oleh Allah ketika kita kembali berdamai dengan Dia. Namun, di manakah jalan perdamaian itu? Bukankah manusia sedang berada di dalam status sebagai musuh Allah?
Jalan perdamaian ada dalam inkernasi Kristus. Inkarnasi Kristus adalah bentuk dari solidaritas Yesus kepada manusia. Walaupun Dia adalah Allah, namun ketika menjadi manusia, Kristus memiliki hidup seperti kita, bahkan hidup-Nya bukan hidup yang diidam-idamkan orang. Dia hidup dalam dunia yang telah jatuh dalam berdosa, namun Dia tidak berdosa. Kristus memberikan sebuah makna baru bagi manusia yang selama ini hilang, yaitu hidup di dalam kehendak Allah. Hidup manusia menjadi bermakna ketika manusia diperdamaikan dengan Allah Bapa. Semua ini hanya bisa terjadi jikalau kita di dalam Kristus. Hanya dengan memiliki relasi dengan-Nya kita dapat berdamai dengan Allah, karena dengan demikian kita boleh belajar seperti Kristus yang menaati dan menjalankan kehendak Bapa-Nya. Pengenalan akan Allah yang sejati bukan dimulai dari perenungan filosofis. Allah bukan ekstensi dari pemikiran manusia, sehingga manusia berdosa tidak mungkin mencapai pengenalan akan Allah yang benar dengan usahanya sendiri. Melainkan, hanya belas kasihan Allah sendiri yang rela menyatakan diri-Nya kepada kita, baru kita dapat mengenal Allah. Hanya oleh pekerjaan Roh Kudus kita dapat mengenal Allah, Ia membawa kita untuk mengenal Sang Allah-manusia (God-man), yaitu Yesus Kristus. Allah sendiri rela berinkarnasi menjadi manusia.
Kematian Yesus Kristus di kayu salib adalah kematian yang dikehendaki oleh Allah. Yesus Kristus dikatakan sebagai Penghulu Hidup, Dia adalah Sumber dari segala kehidupan, namun Dia harus mati di atas kayu salib. Bagaimana mungkin yang dikatakan sebagai Sumber hidup dapat mati, bahkan mati dengan cara yang begitu hina? Manusia berdosa sulit dan bahkan tidak mampu memahami “Christ is the greatest mystery of God.” Namun, justru misteri dalam diri Kristus memberikan kepada orang percaya pengharapan dan damai ketika melihat kembali hidup ini. Khususnya, ketika orang percaya berhadapan dengan kematian. Tanpa mengenal Kristus, hidup ini menakutkan, apalagi kematian, itu hal paling mengerikan. Namun di dalam Kristus ada hidup, sehingga kita tidak perlu lagi takut menghadapi kematian karena seluruh hidup kita sudah ada di dalam tangan Sang Penghulu Hidup.
Kristus menjawab kebutuhan terdalam dari setiap manusia berdosa, dengan hal yang paling ditakuti oleh manusia, yaitu kematian. Mengapa demikian? Karena kematian Kristus berbeda dari kematian kita. Pertama, kita semua mati akibat dosa, namun Kristus mati untuk menebus dosa kita. Kedua, semua orang mati di bawah kuasa kematian, kita tidak dapat memilih untuk tidak mati, namun Kristus mati di atas kuasa kematian, Dia mati menyerahkan diri-Nya dengan rela untuk kita. Ketiga, kita semua mati ditelan oleh kematian, Kristus mati menelan kematian, Dia telah mengalahkan kematian. Terakhir, kita mati karena upah dosa, namun Kristus mati di dalam kehendak Allah. Kematian Kristus menggetarkan sekaligus menenangkan jiwa kita. Di satu sisi kita gentar, ketika melihat Anak Allah, Sang Penghulu Hidup menderita dan mati di atas kayu salib. Di sisi lain, kematian Kristus membuat kita tidak perlu takut lagi terhadap kematian, karena kematian telah ditelan, kematian telah dikalahkan oleh-Nya.
Setelah mati, Kristus mengonfirmasi kemenangan-Nya atas kematian itu dengan bangkit pada hari yang ketiga. Kebangkitan Kristus memberikan ketenangan, kepastian, dan pengharapan bagi yang percaya kepada-Nya. Kristus sendiri telah membuktikannya. Dia bangkit dengan kuasa-Nya sendiri, kuasa Sang Penghulu Hidup, sehingga kematian takluk di bawah kaki-Nya. Dia bangkit sebagai yang sulung, memastikan kebangkitan yang akan terjadi nanti, yaitu kebangkitan kita orang-orang yang percaya kepada-Nya. Kiranya iman kita dikuatkan, kita semakin menyerahkan diri kepada-Nya. Jika Kristus sudah mengalahkan kematian dan bangkit menyatakan kemenangan-Nya, maka seharusnya tidak ada lagi yang perlu kita takuti. Kita, yang sudah dibangkitkan dan memiliki hidup di dalam Dia, hanya perlu takut jika kita melakukan kehendak-Nya, tidak melayani Dia lebih sungguh. Kita tidak lagi perlu untuk takut menjalani hidup ini, karena hidup kita sudah kembali kepada Pemilik Hidup itu sendiri. Mari kita menyerahkan hidup bagi Tuhan. Ketika kita menyerahkan seluruh hidup kita kepada Kristus, kita dengan taat mendedikasikan hidup kita melayani Allah. Di dalam hidup bersama dengan Kristus, kita bisa dengan sukacita berkata, “Aku damai karena hidupku berada di tangan Sang Penghulu Hidup, yang telah mati dan bangkit bagiku.” Amin - Pdt. Netsen