“Kami pasti (akan) menang, kecuali kalau dicurangi”, ujar salah satu calon presiden, sebelum kontestasi pemilihan presiden (pilpres) dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia pada tanggal 17 April 2019 lalu. Kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden sama-sama yakin akan menang, sampai akhirnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertindak sebagai ‘wasit’ independen mengumumkan bahwa hanya satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang memenangkan pilpres 2019. Merasa yakin menang dengan didukung data internal tim pemenangannya, pihak yang telah dinyatakan kalah tidak berterima dan segera mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk mencari keadilan. Tulisan ini bukan sedang membahas dunia politik yang penuh dengan intrik, manuver cerdik (dan licik) serta dinamika yang menyertainya, namun menitikberatkan kepada bagaimana respon seseorang atas kekalahan ataupun kemenangan yang dialaminya untuk kemudian belajar sesuatu darinya.
Tidak ada orang yang selalu menang dalam kehidupan sehingga layak menyandang predikat ‘juaranya para juara’. Sebaliknya, tidak ada orang yang selalu kalah dalam hal apapun juga sehingga kepadanya pantas disematkan gelar ‘pecundangnya para pecundang’. Kalah dan menang pasti pernah dan akan dialami oleh setiap orang. Seorang juara kelas dengan nilai kumulatif tertinggi biasanya bukan top skor dari setiap mata pelajaran. Juara kontes menyanyi Indonesian Idol pun belum ada yang jadi pemenang lomba memasak Master Chef Indonesia. Jawara olimpiade fisika belum tentu piawai memetik gitar berdawai.
Sebuah kemenangan kadangkala diawali dengan berbagai kekalahan di dalam prosesnya. Seorang anak kecil yang sedang belajar berjalan akan sering ‘kalah’ (baca: jatuh) sebelum dia akhirnya ‘menang’ (baca; bisa berjalan tanpa terjatuh). Ada pula yang menang di awal, tetapi kalah di kemudian hari. Anak-anak Yakub merasa ‘menang’ saat berhasil menyingkirkan Yusuf, adik mereka, dengan cara menjualnya sebagai budak. Tetapi di kemudian hari mereka ‘kalah’ dan bersujud di hadapan Yusuf setelah Tuhan mengangkat dia menjadi penguasa Mesir. Ada lagi yang mengalami kekalahan di puncak kemenangan. Ini yang paling ironis. Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat ‘menang’ karena berhasil memaksakan keinginan mereka kepada pemerintah Romawi, yaitu menghukum mati Yesus dengan metode penyaliban. Tetapi ternyata mereka ‘kalah’, karena penyaliban justru menjadi penggenapan nubuat dan jalan penebusan bagi umat pilihan. Kemudian Yesus ‘menang’ dengan bangkit dari kematian pada hari yang ketiga.
Penulis teringat sebuah falsafah Jawa yang berbunyi menang tanpo ngasorake, yang artinya memperoleh kemenangan tanpa menunjukkan kegembiraan berlebihan dengan maksud merendahkan pihak yang kalah. Adapula idiom yang yang baik untuk dilakonkan bersama: menang jangan jumawa, kalah harus lapang dada. Dengan kata lain, pihak yang menang jangan tinggi hati, sedangkan yang kalah jangan kecil hati. Kalau sekarang masih kalah, teruslah berjuang untuk menang di masa mendatang. Kalau sekarang menang, bersiaplah untuk kalah pada suatu masa. Kalah dan menang datang silih berganti. Yang penting bagaimana kita meresponi, menjadikannya pembelajaran dalam kehidupan, dan menemukan maksud Tuhan di dalam setiap kalah-menang kehidupan, dengan pertolongan dan bimbingan Tuhan.